EPISODE 2.0

258 171 15
                                    

Pagi hari begitu bersinar menyinari ruangan kelas kosong yang diisi beberapa manusia saja.

"Nama saya Efnday" ucap Efnday memperkenalkan diri.

"Euh... simpel sekali ya" saut seseorang di samping Efnday.

Dia memiliki tinggi badan sepantaran Efnday dengan rambut jabrik putih seputih susu dan memiliki wajah yang tampan namun memakai penutup mata.

"Jadi.., kau tinggal dimana?" Tanya seorang laki-laki yang duduk di salah satu kursi.

Dia memiliki rambut emas cerah yang diikat menjadi seukuran bola tenis dan dia memiliki gigi taring yang lebih panjang dari manusia normal.

"Asrama." jawab Efnday.

Efnday sedikit kesulitan untuk menatap balik orang itu karena cahaya matahari yang begitu menyilaukan.

"Kita juga tinggal di asrama." timpal seorang laki-laki yang duduk beberapa kursi dari orang tadi.

Ia memiliki rambut yang sama seperti orang di sebelah Efnday. Namun ia tidak memakai penutup mata dan memancarkan warna merah dan biru di masing masing bola matanya.

"Enggak kok. Aku nggak tinggal di asrama." saut seorang perempuan duduk di kursi berjauhan dari kedua laki-laki tadi.

"Aku gak nanya... ble..." jawab laki-laki berambut emas menjulurkan lidahnya.

"Ih..."

Tawa mulai terdengar samar-samar dari seseorang yang duduk di kursi yang lain.

Dari arah suara itu Efnday bisa sedikit melihat wajah perempuan yang begitu menakjubkan cantiknya.

"Okeh tenang... sekarang, perkenalkan diri kalian" ujar seseorang yang berada di samping Efnday.

Mereka berempat lalu berdiri berbarengan.

"Salam Namo buddhaya, namaku Sidharta Gautama." ujar laki laki berambut emas.

"Assalamualaikum, perkenalkan namaku M." ujar laki laki berambut putih.

"Om swastiastu, nama aku Deiva Kris." ujar perempuan yang tadi berdebat dengan Sidharta.

"Kalimera, nama saya Eissa Thor." ujar perempuan yang tadi tertawa kecil.

Dengan begitu, hampir seluruh bagian kelas telah berkumpul.

***

Dua hari sebelumnya.

"Jadi... kita akan kemana?" Tanya Efnday.

"Sekolah." jawab Bartolomeus singkat.

Efnday berjalan dibelakang mengikuti Bartolomeus menyusuri lorong yang hanya muat untuk satu tubuh saja.

Semakin maju berjalan, semakin lebar pula lorong dan semakin banyak juga orang orang berpakaian formal bersenjata berjaga di setiap jalan.

Efnday dan Bartolomeus kini terdiam sejenak di depan sebuah dinding.

"Maaf pak" ujar Efnday memecah kesunyian.

"Untuk apa?" Tanya Bartolomeus halus.

"Aku-"

Perkataan Efnday terpotong dengan terbukanya dinding di depannya,.

Belum usai Efnday menjawab, Bartolomeus sudah memasuki dinding terbuka itu yang ternyata sebuah lift.

"Ayo nak" ajak Bartolomeus.

Efnday langsung melangkah memasuki lift yang langsung menutup kembali.

SpirituilS 1.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang