Chapter 2 - Want to be girlfriend

797 23 0
                                    

Pemilik hotel itu siapa? Kenapa bisa mengenalku? Hera membatin, sambil berusaha menggedor-gedor keras kaca mobil dari dalam sebagai upaya meminta bantuan untuk dibukakan dan menghentikan apa yang terjadi di luar sana.

Ketukan keras terdengar bagaikan alarm pengingat kebaikan Calvin yang mengharuskan menyudahi aksi gila menyayat Asher.

Segera pria itu melepas kaca matanya santai dan memakaikan ke Asher. Menutupi matanya yang memerah karena menangis kesakitan. Entah mengapa Calvin menyukai pemandangan manusia tidak berdaya dibawah kuasanya. Mendengar jerit pilu dan kesakitan seseorang membuat suasana hatinya menjadi damai.

"Sekarang impas. Hera-ku tadi sempat meringis kesakitan karena ulahmu yang kasar."

"Maafkan kesalahan saya, Tuan." Asher meminta maaf, menahan rasa sakit yang menjalar dari area telapak tangannya.

"Terlambat! Walau belum puas, sekarang kubuat sama rata kau juga meringis bahkan lebih sakit. Jangan bersikap kasar pada wanitaku, man! Jual kacamata itu untuk menyembuhkan lukamu." Sok bijak Calvin berpesan sebelum pria itu mendorong lengan Asher menjauh dan melempar benda tajamnya ke sembarang arah.

"Setelah lukamu sembuh minta maaf pada Hera. Jika dia tak memaafkanmu, mulai sekarang latihan menggunakan satu tangan dan ucapkan selamat tinggal pada jari-jari kurang ajarmu." Calvin mengancam tegas tidak pernah main-main.

Atau kau mungkin beberapa jam kemudian sudah tak bisa menggunakan salah satu tanganmu, lanjut Calvin dalam hati.

Setelah mengatakan itu, tak butuh waktu lama Asher ambruk ke lantai. Dia pingsan karena efek samping pisau yang digunakan Calvin didesain khusus dan diberi racun. Tidak mematikan namun sarafnya bisa lumpuh jika telat ditangani dokter.

"Elliot..," Calvin segera menghubungi asisten pribadinya melalui ponsel yang sudah ditempelkan di telinga.

"Bereskan cecunguk sialan ini dan panggil kakakmu." lanjut Calvin tetap tenang kala melihat busa keluar dari mulut Asher yang tandanya racun telah menyebar.

"Baik, Sir." Elliot menjawab dan melakukan sesuai arahan. Sementara Calvin mematikan sambungan.

Bertambah usia, Calvin Williams tidak mengenal rasa takut sama sekali meski ada kamera pengawas di area sekitar bisa dijadikan bukti penganiayaan yang barusan terjadi. Hidupnya sudah melewati hal berbahaya dan masuk penjara tidak masalah baginya.

Elliot telah mengawasi dalam jarak aman. Sang asisten terbaik sudah memastikan tidak ada satu pun orang yang masuk dalam area parkir VIP tersebut. Hanya ada dua mobil mewah yang terparkir. Buggati milik Calvin Williams dan Lamborghini Aventador milik Elliot Gallegos.

Seperti biasa, Elliot yang handal akan membereskan korban dari bosnya yang tak punya hati agar tutup mulut tidak melapor ke polisi.

Calvin memang sering melukai orang lain jika dadanya bergemuruh kesal tidak sesuai keinginan. Tapi pria itu mencoba selalu bertanggung jawab mengobati sampai sembuh untuk dilukainya lagi sampai korban tersebut memasrahkan diri hingga memilih mati.

Mendengar gedoran lagi, Calvin ingat tujuan awalnya jauh-jauh dari Buenos Aires terbang ke Toronto demi seseorang yang bernama Hera.

Tiba-tiba masuk dan melihat ada darah di tangan pemilik hotel membuat Hera terkejut dan menggelengkan kepala menenangkan diri agar tidak pingsan. Bau anyir darah membuatnya mual.

Hera tak suka perkelahian dan segala macam yang akan menimbulkan keributan membuatnya tak nyaman. Kedua orang tuanya sebelum memutuskan bercerai selalu main fisik.

Hera benar-benar terguncang. Kesan pertama yang dirasakan adalah rasa takut kembali menyerang.

"Siapa kau sebenarnya? Kenapa ingin bertemu denganku?"

Menahan takut pada pria asing di depannya, Hera bertanya setelah mampu menelan ludah menutupi rasa takutnya yang ketara.

Calvin mengambil tisu dalam dashboard. Sambil membersihkan darah Asher yang menempel, tak henti-hentinya pria itu memandangi wajah Hera lekat-lekat.

"Apa kita saling mengenal?" Hera bertanya lagi, kali ini lebih gugup.

"Kenapa tanganmu berdarah? Apa yang kau lakukan pada manajer hotel? Kau benar pemilik hotel bukan penjahat? Aku tak punya uang jika kau seorang pencuri?"

Dari getaran suaranya, Hera tidak bisa lagi menutupi rasa takutnya. Wajahnya menampilkan cemas yang luar biasa pada orang asing seharusnya Calvin menyadari akan hal itu.

"Dan kenapa kau mengamatiku seperti itu? Apa ada yang salah dengan wajahku ini?" Hera berani bertanya karena risih jika dipandang intens.

Setelah tangannya cukup bersih, Calvin mendekatkan diri hampir mengenai hidung Hera yang mancung. Pipi Hera memanas jarak mereka terlalu dekat sedang Calvin merasa darahnya berdesir amat deras.

Calvin tilik wajah Hera sedalam mungkin, menyentuh mukanya dan merasakan kulit yang begitu halus lalu jempolnya bergerak membelai rahang Hera. Sayangnya gadis itu gemetar ketakutan.

Dengan cepat Hera memalingkan muka memutuskan kontak mata. Tidak sopan jika orang asing yang tidak dikenalnya berbuat kurang ajar dalam pertemuan pertama.

"Bisa tolong jangan sentuh-sentuh. Kau membuatku tidak nyaman." jujur Hera berkata, berharap pria asing disebelahnya berhenti membelainya. Ia takut menepis karena tangan itu bekas darah.

"Hari ini bisa, tapi tidak dikemudian hari." jawab Calvin yang membuat alis Hera berkerut namun gadis itu diam tak menanggapi lagi.

Calvin tidak bisa mengamuk hanya karena respon Hera yang seperti itu. Dia amati wajah Hera namun tidak bisa mengekspresikan apapun.

Untuk hari ini Calvin mengalah. Hanya untuk hari ini pria itu tidak mempersalahkan Hera tidak mau disentuh, sehingga melanjutkan melihat sisi wajah gadis itu yang nampak memucat.

"Aku berniat menjadikanmu kekasihku." terang-terangan Calvin menerangkan tujuannya.

"Are you seriously?" Hera tak dapat mempercayai pendengarannya.

Gadis itu seperkian detik langsung menoleh cepat hingga mata cokelat milik Calvin dan Hera bertemu, mengunci dalam tatapan intens, menatap sama lekatnya seperti Calvin yang sedari awal tak henti-hentinya memandangi wajah Hera.

Merasa diperhatikan intens oleh lawan jenis, Hera salah tingkah, tidak sadar menahan napas sambil memainkan jempol kukunya gugup. Pancaran mata dari pemilik hotel yang belum Hera kenal nampak serius, nampak sedang menilai juga. Tapi dari nada suaranya tidak ragu sama sekali dia berucap meminta menjadi kekasih. Namun apakah itu permintaan masuk akal sementara Hera tidak mengenal sama sekali pria itu.

Dasar aneh? Apa dia ada kelainan? Atau apa ada yang salah dengan ingatanku? batin Hera dan lagi-lagi tidak menemukan jawaban.

"Pernahkah kita bertemu?" Setelah berkutat dengan pikirannya, Hera bertanya berharap pria itu memberi jawaban. "Aku tak mengenalmu sama sekali."

"Maka dari itu kau harus mengenal siapa aku."

Sebelum wisuda Hera harus bekerja mengantar pesanan bunga hingga lupa makan. Sekarang Hera merasa pusing kepalanya berdenyut tidak mau berhenti. Ditambah menghadapi pria pemilik hotel bisa meledak kepalanya.

"Diriku, Calvin Silvester Williams pria yang baru saja menyayat telapak tangan manajer hotel sebanyak tujuh kali adalah pemilik hotel sekaligus—"

Calvin hendak mengulurkan tangan dan belum sempat menyelesaikan ucapannya, Hera sudah keburu pingsan. Pria itu tidak panik, melainkan ia menyukai respon yang diberikan Hera. Tak mau berlama-lama di parkiran, Calvin memasang sabuk pengaman untuk Hera, lalu memindahkan kepala gadis itu bersandar pelan-pelan agar tak sakit lehernya.

"Nice to meet you, Hera. Kau mungkin melupakanku tapi aku tidak."

Jujur Calvin senang bisa bertemu lagi dengan gadis yang dia cari selama ini. Tak bosan, ditatap sekali lagi Hera dalam beberapa menit sebelum menyalakan mobil mewahnya. Bukan ke rumah sakit. Pria itu segera meninggalkan parkiran membawa Hera ke tempat yang nyaman.

Dia seorang pria yang harus mendapatkan keinginannya. Untuk sekarang dan kemudian hari, Calvin hanya membutuhkan Hera-Nya.

TO BE CONTINUED

MADDEST OBSESSION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang