Chapter 3 - Not necessary affraid

571 17 1
                                    

Hera membuka kelopak matanya perlahan, samar-samar disambut penerangan lampu yang sangat menyilaukan sehingga reflek menutup mata kembali.

Sedetik kemudian, Hera sadar langit-langit kamar apartemennya tidak sebagus apa yang barusan terlihat. Desain interiornya terlihat mewah seperti dibuat oleh ahli arsitektur handal. Walau desainnya minimalis, tapi ia tahu plafon langit kamar ini terbuat dari ukiran mahal dan menyadari seratus persen benar— ini bukanlah kamar yang biasa dia tempati.

"Jika masih lemas kau bisa kembali tidur, Hera."

Namanya dipanggil oleh suara bariton terdengar dalam ruangan sunyi sehingga menghasilkan desiran aneh menyerbu darah Hera sebab dia mengenali suara berat itu.

Dan tanpa aba-aba, Hera bangkit dari posisi berbaring menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Ia tersadar akan realita menyebalkan pingsan karena cemas dan takut berlebihan yang disebabkan oleh pria asing yang katanya pemilik hotel yang perawakannya menakutkan namun tak dipungkiri wajahnya tampan sekali.

Hera sadarlah kau di tempat asing.

"Jangan memaksakan diri kalau masih sakit, sekarang sudah lewat hari menunjukkan pukul dua malam. Atau kau terbangun karena lapar? Aku bisa siapkan, kau mau bubur atau sup hangat?"

Tersadar berada dalam kamar asing, Hera spontan memeriksa kondisi tubuhnya. Untungnya pakaian yang dipakai masih utuh tidak terkoyak sehelai pun. Yang hilang hanya jubah ungu wisudanya dan Hera tidak mempermasalahkan itu.

"Berada dimana aku? Jam dua malam? Berapa lama aku pingsan? Dan siapa kau?" Begitu banyak Hera menghujani pertanyaan, memastikan lokasinya berada karena takut diculik, direnggut organ tubuhnya atau paling parah diperkosa lalu dibuang ke klub malam untuk menghasilkan uang dijadikan pelacur melayani nafsu pria bejat.

Seminggu belakangan ini berita televisi terus menyiarkan berita penculikan yang berakhir penemuan tulang belulang manusia yang tidak terindentifikasi oleh pihak penyelidikan. Masyarakat resah bukan main karena pihak polisi dan jaksa tidak berguna belum bisa menemukan tersangka atas siapa dalang yang berbuat keji, padahal pajak bulanan rutin mereka setorkan ke kas negara yang katanya untuk kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu Hera dilanda cemas dan takut. Seketika menyesal telah mengikuti orang asing hanya karena orang yang memanggilnya mengetahui nama lengkapnya.

Pikiran-pikiran negatif pun tak terhindarkan dalam kepalanya yang masih pusing. Entah pusing karena belum makan seharian atau pusing karena pria yang membawanya ke sebuah ruangan asing yang terlihat mahal dan berkelas.

Hera terus mengamati dalam diam, sama sekali dia tidak mengenal pria yang belum mau menjawab pertanyaannya, namun masih berada di posisinya, duduk di salah satu sofa tunggal yang masih diplastik berada menghadapnya dengan tenang sambil memegang buku tebal dan mata cokelat itu terus memandang lekat-lekat.

Kenapa dia selalu melihat ke wajahku?

Ada apa dengan wajahku? Apa aku sejelek itu sampai dia mengamatiku tanpa ekspresi? Ada apa dengannya?

Hera terus membatin, terlihat gugup juga. Calvin yang mendapat ide iseng sekilas berniat mengerjai gadis itu. "Kau lupa apa yang terjadi? Atau hanya aku yang mengingatnya? Coba ingat lagi baik-baik, apa yang terjadi antara aku dan kau."

"Kenapa kau bisa mengenal namaku?" Hera bertanya balik, mengabaikan pertanyaan yang dilayangkan Calvin lebih dulu.

Manik mata Hera tak lepas dari tempat Calvin duduk, memantau gerak-gerik orang asing itu adalah bentuk terakhir pertahanan diri yang bisa dilakukan.

"Aku dulu yang bertanya, Hera Belladonna. Kenapa harus aku yang menjawab pertanyaanmu lebih dulu?"

Calvin mulai berdiri, menaruh buku sejarah peradaban kota Rusia yang dibacanya untuk diletakkan di nakas lalu duduk di tepi ranjang yang hanya ada satu dalam ruangan itu.

MADDEST OBSESSION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang