"Kau ingin sembuh tidak?"
Calvin mengambil bubur di nakas, menyendok setengah dan mulai bergerak, memaksa menyuapi Hera. Ia bertanya dengan suara cukup mengintimidasi sambil mengangkat sendok ke mulut Hera yang tertutup rapat. "Buka mulutmu jika kau tahu diri telah menyusahkan orang lain dengan pingsan di depannya. Waktuku terbuang menunggu kau siuman. Aku masih punya pekerjaan lain."
"Seharusnya kau bawa saja aku ke rumah sakit lalu tinggalkan. Kenapa harus aku yang disalahkan? Bukankah kau yang meminta bertemu. Aku tidak kenal siapa kau. Dan sekarang bisa jelaskan ada urusan apa sampai kau ingin bertemu denganku?" tanya Hera selalu pelan nada bicaranya. Ia ingin semua ini cepat selesai.
"Sebelum pingsan apa kau tak dengar aku ingin menjadikanmu kekasihku." Calvin tak segan mengatakan itu lagi. Bukan mengemis, tapi itu bentuk pernyataan yang harus diiyakan, tak perlu meminta persetujuan dari Hera.
Suara berat Calvin terdengar serius hingga Hera hanya mampu menelan salivanya, mengisi tenggorokannya yang kering kerontang.
Detik selanjutnya perut Hera tak bisa diajak kerjasama sampai keroncongan tanda orang lapar terdengar khas, membuat Hera malu.
"Kau bukan anak kecil yang harus dipaksa kapan waktunya makan, kapan waktunya minum, kapan waktunya ini itu. Perutmu sudah menandakan alarm tandanya kau harus makan. Jangan gengsi. Kau bilang ingin keluar dari kamar ini, silahkan, aku persilahkan tapi habiskan buburnya. Paling tidak harus ada asupan masuk dalam tubuhmu dulu." Sendok berlapis emas sudah berada depan mulut Hera namun yang punya organ tak mengizinkan masuk.
"Oke, baiklah. Aku memang lapar tapi aku harus jaga-jaga. Bubur ini tidak di racun, kan?" Dihilangkan semua rasa takut Hera bertanya.
Benar yang dikatakan Calvin, paling tidak jika berniat melarikan diri, tubuhnya harus bisa diajak kerja sama bertahan hidup. Berlari dari ruangan ini atau menendang apa pun jika pria itu macam-macam.
Manik mata Calvin menyiratkan kuasa yang tak bisa dibantah. Hera tidak bisa membaca raut wajah apa yang ditampilkan Calvin karena pria itu selalu bertampang datar kala berbicara juga.
Menatap Hera pun juga begitu. Datar tanpa ekspresi namun selalu memandangnya lekat-lekat. Hera berusaha membaca arti tatapan dari bola mata cokelat itu, tapi tidak bisa terbaca.
Seolah Calvin tak mengizinkan orang lain tahu apa yang sedang dipikirkan olehnya.
Dalam gerakan cepat Calvin mengambil bubur jagung itu dan memakan lahap satu sendok, lalu dua sendok lagi sampai Hera tak bisa berkata-kata atas tindakan Calvin yang sepertinya tidak mau banyak omong.
Setelah habis barulah Calvin berkata, "Lihat, aku terlihat baik-baik saja, kan? Aku juga tidak keracunan makanan mengeluarkan busa setelah menyantap bubur yang kuberikan padamu. Sekarang cepat habiskan. Kau sudah mengulur waktu dari tadi dan aku tidak suka membuang waktu sia-sia."
"Kalau waktumu terbuang sia-sia pulangkan aku." timpal Hera. Namun Calvin tak menjawab.
Hera mengambil bubur dari tangan Calvin menghela napas dulu sebelum berkata, "Jika bubur jagung ini habis, kau sudah berjanji akan memulangkanku, bukan?" tanya Hera memastikan. "Seperti ucapanmu barusan. Tak usah repot-repot aku bisa pulang sendiri."
"Awalnya iya. Tapi tiga sendok sudah kulahap jadi makanan itu tak murni kau makan sendiri. Ada kontribusi aku membantumu makan." Calvin menjawab tegas.
Hera yang mulai menyendok, pundaknya menurun seketika bersamaan dengan hembusan napas lelahnya. Calvin ketara sekali pandai mengubah situasi sehingga dalam beberapa menit Hera makan perlahan.
Hera memang tak pernah bisa melakukan apapun dengan cepat. Hera amat sangat lambat dalam mengerjakan apapun. Calvin tak henti-hentinya melihat Hera yang makan bubur jagung yang mudah dikunyah namun sudah dua puluh menit belum juga habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADDEST OBSESSION
RomanceCERITA INI MENGANDUNG UNSUR ADEGAN DEWASA, KEKERASAAN DAN KATA-KATA KASAR. BIJAKLAH DALAM MEMBACA! DARK ROMANCE 21+ | Semula terjadi karena Calvin Williams tiga tahun terakhir selalu mencari keberadaan sosok gadis bernama Hera. Gadis cantik jelita i...