Gempa melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah lelah. Di malam yang sunyi, hanya redupnya lampu yang menyambutnya. Hatinya terasa hampa saat tidak adansenyum hangat dari istrinya. Dia melepaskan jasnya dengan gerakan lamban dan menapaki langkah-langkah menuju ke kamar.
Di sana, dia menemukan Hanna, istrinya, duduk di balkon dalam kesunyian malam. Wajahnya yang cantik terhias oleh bayangan bulan sabit yang mengambang di langit gelap. Gempa merasa hampa melihat istrinya yang berusaha menyembunyikan kesedihan dibalik kesibukan.
Hanna tidak memalingkan wajahnya saat Gempa masuk. Dia masih terpaku pada bulan yang berkilauan di langit. Gempa berdiri di ambang pintu, memandanginya dengan hati yang berat. Dua bulan lamanya, Gempa masih melihat senyuman Hanna tidak seceria dulu.
Gempa memeluk Hanna dengan lembut dari belakang, menawarkan kehangatan yang lama dinanti. Hanna sedikit terkejut oleh sentuhan itu, tetapi segera merasakan ketenangan mengalir melaluinya saat tubuhnya terasa bersentuhan dengan Gempa.
"Kamu sudah pulang?," kata Hanna, suaranya lembut namun terdengar jauh.
"Iya, Sayang..."
Hanna menarik nafas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap suaminya. "Bagaimana hari kerjamu?"
Gempa tersenyum tipis. "Sama seperti biasanya. Melelahkan."
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati momen kebersamaan itu. Gempa menghirup aroma tubuh Hanna dari lehernya dengan penuh cinta, membiarkan wangi itu meresap ke dalam ingatannya. Baginya, aroma itu adalah kenangan indah dari masa-masa bahagia yang mereka lewati bersama.
"Hanna..." bisik Gempa dengan suara serak, suaranya penuh dengan rasa cinta yang tak terungkapkan.
Hanna membalikkan tubuhnya, wajahnya yang cantik terpancar dalam cahaya remang-remang malam. Kesedihan itu masih membekas dalam tatapan Hanna. Gempa meraih wajah Hanna dengan lembut, mencium bibirnya dengan penuh kelembutan. Ciuman itu adalah ungkapan dari cinta yang dalam, dari kerinduan yang tak terucapkan selama ini. Mereka tenggelam dalam momen itu, melupakan segala beban dan kesedihan yang pernah mereka rasakan.
Saat bibir mereka berpisah, kehangatan cinta masih terasa di udara. Mereka saling menatap, penuh dengan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Meskipun badai telah melanda hubungan mereka, namun mereka yakin, cinta mereka akan selalu menjadi pelindung di tengah guncangan yang tak terduga.
"Hanna... kumohon jangan seperti ini..." Gempa memeluk Hanna dengan hangat, merasakan getaran kecil dalam tubuhnya karena isak tangis yang hampir tidak terdengar dari istrinya. Dia merasakan sakit mendalam dalam hatinya saat melihat Hanna seperti ini. Setiap kali dia melihat istrinya, ingatannya selalu membawa kembali pada masa-masa sulit beberapa bulan yang lalu, ketika mereka kehilangan janin mereka dalam keguguran yang menyakitkan.
"Aku tidak suka melihatmu seperti ini." bisik Gempa dengan suara lembut, mencoba menenangkan hati Hanna.
Hanna menundukkan pandangannya, air mata yang tak terbendung lagi mengalir di pipinya. Dia merasakan rasa sakit itu kembali menghantamnya, menghantui setiap langkah yang dia ambil. Baginya, kehilangan janin mereka adalah pukulan yang tak terlupakan, dan dia masih merasakan rasa bersalah dan kesedihan yang melilit hatinya.
"Mas... kamu selalu memberikan segalanya untukku, sabar menghadapi sifat labilku. Namun... sekalipun aku tidak pernah memberikan yang setimpal untukmu_"
Gempa dengan lembut meletakkan telunjuknya di bibir Hanna, memohon dengan tatapan yang penuh dengan rasa sayang. "Sayang, aku ingin kamu terbuka denganku. Menangislah dalam pelukanku, tertawalah sepuasmu, dan aku bahagia saat melihatmu tersenyum penuh kebahagiaan. Bukan dengan kamu yang mengabaikan kesedihanmu dan memilih menyibukkan diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
What If : OPEN YOUR WORD
Short StoryHanya pelepasan stress author. KONSEP CERITA INI NGGAK ADA ATURAN KARAKTER TETAP. BISA AJA KARAKTER A SAMA B DI NEXK CERITA JADI MUSUH, ATO LAINNYA. DAN ADA KARAKTER YANG ILANG PADAHAL DI CHAP SEBELUMNYA ADA. Dan mungkin paling banyak shipp Hali-Ros...