Rindu (HaliRose)

15 0 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul duabelas malam, namun pria berkepala tiga ini masih duduk kokoh di meja kerja kantornya. Halilintar, seorang suami dan ayah dari empat, masih sibuk mengurus kerugian karena penipuan salah satu mantan rekan kerjanya. Ratusan juta menghilang, alhasil Halilintar harus bekerja lebih keras dari biasanya.

Hingga jam telah menunjukkan pukul dua dini hari, Halilintar mematikan laptop, dan meregangkan ototnya dengan gemas, menggeliat di kursi kerjanya yang terasa semakin menghimpit. Dalam keheningan kantor yang sunyi, kepalanya terasa berputar-putar karena memikirkan kerugian yang telah menimpa perusahaannya. Dia merasa seakan-akan terperangkap dalam belenggu kegelapan, tanpa jalan keluar yang jelas.

Dengan perasaan bersalah yang merayap di dalam hatinya, Halilintar membuka handphone yang telah dia diamkan. Layar penuh dengan puluhan notifikasi dari istrinya, Rose. Hatinya terasa semakin teriris saat menyadari betapa dia telah mengabaikan kehadiran Rose dalam hidupnya.

Namun, keadaan yang memaksanya untuk begadang demi menyelesaikan masalah di kantor membuatnya tak bisa merespons pesan-pesan Rose dengan cepat. Tanpa banyak berkutik, dia segera meraih kunci mobilnya dan bergegas menuju basement untuk pulang.

Dengan hati yang penuh penyesalan, Halilintar memasuki rumah dan mendapati Rose yang tertidur lelap di ruang tamu, menunggu kehadirannya pulang. Wajah cantik Rose terlihat damai dalam tidurnya, tapi Halilintar merasa remuk karena menyadari betapa dia telah membuat sang istri khawatir.

Setelah cukup lama menatap wajah Rose dengan penuh kasih, Halilintar akhirnya mendekat dan mencium setiap inci wajahnya dengan lembut. "Maafkan aku, Rose," bisiknya dengan suara serak.

Dengan gerakan yang lembut, Halilintar menggendong Rose dari sofa yang terletak di ruang tamu menuju kamar tamu yang terletak di seberang lorong. Cahaya redup dari lampu malam menerangi lorong yang sunyi, menciptakan suasana tenang di sekeliling mereka. Meskipun seharusnya mereka beristirahat bersama di kamar utama mereka di lantai dua, Halilintar merasa bahwa Rose akan lebih nyaman di kamar tamu malam itu.

Langkahnya tenang dan hatinya penuh perhatian saat dia membaringkan tubuh Rose di atas tempat tidur yang lembut. Dia memastikan agar posisi Rose nyaman dan merapikan selimut dengan cermat di sekitar tubuhnya. Sejenak, dia hanya berdiri di samping tempat tidur, menatap wajah tenang Rose dalam kegelapan, merenungkan betapa berartinya kehadiran wanita yang dicintainya dalam hidupnya.

Saat itu, Halilintar merasakan kelelahan yang mendalam menyeruak ke dalam tubuhnya. Dia terlalu lelah untuk melakukan apapun selain memeluk Rose dengan erat. Dengan lembut, dia merangkul tubuh Rose, menenggelamkan kepalanya di antara payudara yang hangat dan empuk. Bau harum dari rambut Rose memenuhi indera penciumannya, membuatnya merasa tenang dan damai.

Di tengah kegelapan kamar, dengan desiran napas Rose yang teratur sebagai musik latar, Halilintar merasakan dirinya semakin terlelap. Pikirannya yang terbebani oleh segala masalah di kantor perlahan-lahan lenyap, digantikan oleh rasa damai yang menyelimuti dirinya. Dia menyusul Rose ke alam mimpi, dengan keyakinan bahwa besok akan membawa harapan dan kesempatan baru untuk menghadapi segala tantangan dengan penuh semangat, bersama Rose di sisinya.

***

Keesokan harinya, suasana di rumah Halilintar terasa lebih cerah. Halilintar memutuskan untuk menyempatkan waktu untuk sarapan bersama keluarga kecilnya lagi, menginginkan momen berharga bersama yang selalu menjadi penyemangat di tengah kesibukannya. Mereka duduk di sekitar meja makan, sambil menikmati hidangan sarapan yang disiapkan dengan penuh kasih oleh Rose.

Selama sarapan, tawa riang anak-anak mengisi udara, mengusir segala ketegangan dan kekhawatiran yang mungkin masih menghantui Halilintar. Dia menikmati setiap momen itu, menatap wajah ceria anak-anaknya dan tersenyum bahagia. Beberapa candaan khas anak-anak mengundang tawa dari Halilintar, memecah keheningan pagi yang sebelumnya.

What If : OPEN YOUR WORDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang