Bagian 11 - Cinta Tak Pernah Layu

867 119 24
                                    

🍁



Ada yang menetap tak pernah hilang
dan kembali walau sempat diabaikan.

hangat percakapan, membawa seutas harapan. kembali terulang, pada bagian cinta yang bermekaran; atau kembali pulang, pada bagian cinta yang tak mungkin lagi terselamatkan.

meski semua orang tahu,
cinta itu tak pernah layu.


"Bagaimana perasaanmu sejauh ini?" Tanya Fany. Perempuan anggun itu tengah berada di ruangan kerjanya dan duduk berhadapan dengan laki-laki yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.

"Much better. Saya berhasil menahannnya sampai hari ini." Jelasnya dan membuat Fany merekahkan senyumnya. "Thank you, Tan. Mungkin kalau tidak ada kalian, entah bagaimana hidup saya." Kalimat tersebut tak hanya terdengar tulus, tapi juga getir yang menyesakkan dada.

"Kamu tahu, Za? Sudah tiga tahun ini saya hanya pegang dua pasien. Dan sejujurnya, tante bangga sekali melihat progres dan semangat kalian untuk sembuh. Ketimbang berterima kasih kepada saya, harusnya kalian berterima kasih kepada diri kalian sendiri yang memilih bertahan." Tutur Fany.

"Kita lihat progres kamu sebulan ke depan ya, Za. Kalau kamu berhasil mengembalikan pola tidurmu maka kita sudah bisa menghentikan sesi konseling ini." Tidak ada kalimat yang lebih membahagiakan dari pada kalimat Fany barusan. Dan, Bionzy yang ketika itu juga sedang berada di ruangan menatap sahabatnya dengan haru.

"Kalian berdua langsung ke kantor?" Tanya Fany.

Keduanya memberikan reaksi yang berbeda. "Kata Papa aku wajib ke kantor. Papa punya dendam apa sih ke anaknya? Masa Erza doang yang dikasih izin nggak ke kantor, adek enggak." Adu Bionzy.

"Tadi pagi papa ada telpon ke mama, katanya adek telat rapat lagi. Makanya papa agak kesel mungkin sama kamu." Diperjelas seperti itu, membuat anak bungsu Fany semakin tantrum. "Mama bantuin aku bilang ke papa kalo adek ini capek mau izin." Ucap Bionzy sambil bergelayut di lengan Mama-nya.

Hadeh si bungsu Rajendra.

"Erza duluan aja, Sayang. Tante mau bicara dulu sama anak bungsu manja ini."

Erza yang sejak tadi memperhatikan interaksi Ibu dan anak itu, hanya dapat tersenyum. Nyatanya, keharmonisan yang ditunjukan keluarga Fany tak pernah gagal membuat Erza iri. Ia jadi berandai—andai. Bagaimana kalau keluarganya seharmonis itu, ya? Sudah pasti..

"Za? Are you okay?" Pertanyaan itu membuat Erza tersadar dari lamunannya. "Totally okay, Tan. Saya pamit duluan kalau begitu." Jawabnya. Setelah itu, melangkah pergi dari ruangan Fany.

Rencananya, selesai dari sesi konseling, Erza ingin mengunjungi makam Mami-nya. Namun, seketika tanpa disengaja, obsidiannya melihat sosok Moeza yang sedang menggendong anak perempuan. Dan mereka terlihat sedang asyik berbicara hingga tak menyadari presensinya.

Erza menepuk bahu Moeza dan membuat sosok itu memutar tubuhnya. "Kamu kenapa di sini?" Moeza menatap Erza sedikit terkejut. Namun Erza terlihat baik-baik saja. "Tadi saya ada urusan di sini." Ucap lelaki itu, tanpa menjelaskan tentang alasan yang sesungguhnya.

"Anak siapa ini, Za?" Tanya Erza mengalihkan topik pembicaraan mereka. Untungnya, Moeza langsung mengajak anak tersebut berbicara. "Coba kenalan, nama kamu siapa?" Kalau Erza bisa menerka usia anak itu, mungkin tidak jauh berbeda dari Agetha.

#MOERZA | Jika Kita Bertemu Kembali [MARKNO AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang