Bagian 22 - Sebuah Cerita Tentang Penantian

747 99 17
                                    

🍁



Sebuah Cerita Tentang Penantian,

Ada saatnya yang berlayar akan pulang,
ketika gema memangil namanya di kesunyian,
menyibak cahaya purnama yang berkelindan,
untuk bertemu jelaga yang selama ini dirindukan.

Terbayar sudah penantian,
walau ini bukanlah akhir dari perjuangan.



Setelah melakukan diskusi panjang dengan kedua orang tuanya, akhirnya Moeza memutuskan untuk ikut bersama Erza ke New York. Meskipun awalnya Moeza bimbang dengan keputusannya tersebut. Ia takut, Erick tidak akan menerima kehadirannya.

Namun siapa sangka, Papi dari Erza itu tanpa ragu mendatangi Moeza, dengan maksud membujuknya untuk tinggal bersama keluarganya. Bahkan, lelaki itu sampai meminta izin kepada keluarganya. Dan, baik Joe atau pun Jiu tidak dapat menolak tawaran tersebut.

Omong-omong, alasan Moeza ikut tinggal bersama keluarga Erza. Karena, Erick memberikan beasiswa untuk Moeza secara cuma-cuma agar anak itu bisa meraih gelar Doktor, seperti yang diidam-idamkan, yakni di Columbia University. Dan, tidak hanya itu.

Ketika Erick mengatakan tidak akan membiarkan Erza sendirian lagi, ia sungguh-sungguh janjinya. Bahkan, ia sampai memberhentikan Anggun dari posisinya karena perempuan itu sudah menyakiti putranya.

Walaupun Anggun mengancam akan memberitahu media terakhir kebusukannya tetapi lelaki itu tidak gentar. Pun, sekarang tidak ada yang lebih penting ketimbang kesehatan putranya. Erick sadar, sudah bertahun-tahun ia mengabaikan anak dan istrinya. Lantas, ia tidak ingin melihat putranya terluka lagi karena dirinya. Ia tidak ingin melihat Erza kembali melukai diri. Cukup sekali. Sekali itu pun bagaikan diremas jantungnya hingga ingin mati.

Lantas, di bawah langit cerah siang ini. Moeza ikut menemani Erza untuk mengunjungi makam Meera sebelum mereka meninggalkan tanah air esok hari.

"Setiap datang ke sini, rasanya saya bisa berdiam diri lama-lama hanya untuk memandangi foto itu." Ucap Erza, seraya menatap pigura Mami-nya. Dan Moeza yang awalnya menatap ke arah yang sama, sekarang mengalihkan tatapannya pada Erza.

"Saya selalu berpikir, betapa kasihannya Mami di sana. Karena, biasanya kami akan mengobrolkan apa saja di rumah. Namun semenjak Mami pergi, televisi di rumah kami tidak pernah menyala lagi. Bukan hanya itu, rumah kami terasa kosong, dan hampa." Kata-kata Erza terhenti sejenak. Seperti bernostalgia dengan kenangan lamanya bersama Sang Mami.

"Kehadiran Mami seperti nyawa bagi rumah kami."

Kendati, lamunan tentang Meera sekejap hilang setelah Moeza menautkan jemari mereka. "Saya bangga sekali sama kamu." Ucapan itu membuat netra keduanya bertemu. "Sekarang kamu sudah berani untuk menceritakan tentang alm. Mami ke saya. Walau saya tahu, hal itu masih berat 'kan?"

"Tapi yang perlu kamu ingat, kamu nggak pernah sendiri. Ada saya, Papi kamu, Ibu Fany, dan yang lainnya, yang akan selalu di sisi kamu. Dan, saya akan membalas rasa cinta kamu, selama sepuluh tahun kemarin. Kita akan lewati masa-masa sulit ini bersama, dan saya akan temani kamu sampai sembuh."

Erza menatap wajah cantik Mami-nya. Perempuan itu memakai gaun warna putih tulang yang sangat serasi dengan kulitnya.

"Mami, ini Moeza. Dulu, saya sering menceritakan tentang Moeza kepada Mami. Apakah Mami masih ingat? Saat itu kita sama-sama berdoa agar kelak saya dapat bertemu kembali dengan Moeza. Lihat, sekarang Moeza ada di samping saya. Saya sudah tidak sendiri. Mami pasti bahagia 'kan? Papi sudah kembali begitu juga Moeza saya. Dan, seandainya, Mami juga berada di sini bersama kami. Tapi, saya rasa, Mami sudah bisa tenang sekarang." Sejenak, Erza kembali menatap Moeza. Tetesan air mata itu kembali runtuh tanpa bisa dicegah.

#MOERZA | Jika Kita Bertemu Kembali [MARKNO AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang