---
Abiyasa, atau Bang Asa bukan sosok lemah lembut, pada Setya—sang adik kandung sendiri. Bang Asa, memiliki kepribadian dengan kepedulian, tanpa harus menunjukkannya secara terang-terangan. Bang Asa sayang, tanpa berucap, Bang Asa juga berani bersumpah, jika ia hidup sampai sekarang hanya karena keberadaan Setya.
Hidup tanpa berdampingan dengan orang tua, bukan suatu perkara yang mudah. Bang Asa, sudah berteman dengan luka sejak lama, langkahnya terus dipenuhi lara, tanpa harus bertanya kenapa, tidak memilih untuk mengakhiri hidup saja.
Malam ini, isi kepala Bang Asa sedang dipenuhi oleh banyaknya rencana—bagaimana Bang Asa harus mencari uang pada satu malam, dengan jumlah yang tidak sedikit, untuk memenuhi uang bulanan sekolah Setya. Meskipun dikatakan anak beasiswa, Setya hanya dibebaskan uang bulanan pada awal semester saja, selebihnya ia harus membayar seperti siswa yang lain. Dikala, pikirannya berkelana, Bang Asa teringat jika sekarang waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pamitnya Setya yang keluar sore tadi, sampai sekarang eksistensi sang adik, belum kembali terlihat.
Dengan darah yang tiba-tiba naik ke atas kepala, Bang Asa memilih untuk bangkit, baru saja kakinya membuka pintu besi itu, Setya tiba tepat dihadapan Bang Asa dengan wajah menunduk tanpa ingin bertatap muka.
"Darimana?" Bang Asa menarik tangan Setya untuk masuk, seraya melempar tanya.
Setya menghela napas, berusaha tenang, dan kini tangannya terus memilin sweater yang warnanya telah luntur, juga sudah banyak beberapa jahitan, karena terlalu sering dijahit saat sobek.
"Setya, Bang Asa nanya. Telinga kamu enggak tuli 'kan?!" dua tangan Bang Asa beralih memegang bahu Setya yang lebih lebar, sedikit—mencengkramnya membuat Setya semakin menunduk takut.
"Maaf Bang. Setya tadi keluar nyari beberapa lowongan pekerjaan, se-sebentar lagi 'kan ujian semester, g-guru bilang semua siswa wajib pakai ponsel. Komputer sekolah cuman buat guru sama staff aja, j-jadi tadi—"
Setya sudah menutup matanya rapat, saat dirasa bayangan tangan Bang Asa siap kembali, menyentuh pipi mulusnya. Namun urung, ketika Setya memutuskan membuka mata, justru yang ia lihat punggung Bang Asa yang mulai menjauh dari pandangannya.
Setya kembali berpikir, ia ingin sekali berhenti untuk menyusahkan Kakak-nya. Tetapi, dengan ia memutuskan untuk berhenti sekolah, justru Setya merasa ia lebih kurang ajar lagi, karena selama ini, Bang Asa mati-matian agar Setya bisa terus bersekolah.
Agar, Setya berpendidikan.
"Bang Asa. Setya takut, makin lama, Bang Asa makin capek sama Setya. Gimana setelah Ibu sama Ayah pergi, Bang Asa juga ikut pergi." Setya menunduk, lalu mendongkak saat dirasa air matanya memilih untuk turun. Tapi, tidak. Pemilik mata indah itu, tidak akan pernah membiarkan air matanya turun, apalagi jika dilihat oleh Bang Asa.
Setya ingin terlihat kuat, seperti Bang Asa yang bahkan Setya tidak tahu, apakah Kakak laki-lakinya itu pernah menangis, pernah merasa lelah. Setya tidak pernah tahu, karena selama ini, yang Setya tahu, hanya punggung tegap Bang Asa yang terlihat kokoh saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
KrisanPhilia [Selesai] ✓
FanficNCT DREAM Lokal Krisan Philia, sebuah kisah singkat 7 kepala yang memiliki berisiknya masing-masing, namun mencoba bertahan selama mungkin. Menyatukan 7 kepala menjadi satu bukanlah hal yang mudah. Walau begitu, mereka memiliki tujuan yang sama. M...