Page 21🌼

106 9 0
                                    


--

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

--

Sejak dulu, sejak ia tahu dirinya dan adiknya dibuang, Bang Asa sama sekali tak mengharapkan kedua orang tuanya kembali menemuinya. Sudah pernah Bang Asa katakan, sekalipun Tuhan memberikan ia kesempatan untuk menemui kedua orang tuanya, ia tidak akan sudi.

Masih terekam jelas, saat hari di mana kebingungan serta ketakutan melanda Bang Asa. Anak kecil yang bahkan belum mengerti akan perkara dunia dan seisinya, harus dihadapkan oleh kejamnya dunia tanpa ia kenali terlebih dahulu, bahkan tanpa bekal sama sekali.

Lukanya masih sangat membekas, dan mungkin tak akan terlupakan. Bang Asa tak memerlukan penjelasan lebih, ia terlalu muak dengan penjelasan yang menurutnya omong kosong belaka. Namun, satu hal yang ia syukuri, Tobi sudah tak kerja lagi di sana. Maka dari itu, ia tak perlu repot-repot menghindari Tobi, seseorang yang memiliki hubungan darah dengan sang Ibu, hah, Bang Asa benci fakta itu.

"Bang Asa."

"Hm." Bang Asa menjawab panggilan sang Adik, tanpa menoleh ke arahnya sama sekali. Matanya hanya terfokus oleh langit yang tak menampakkan bulan serta bintang satu pun.

"Tadi siang, waktu perjalanan pulang ke sini. Ibu nemuin Setya, dia--"

"Apa maksud kamu, Setya? Kamu menemuinya?" suasana yang awalnya adem ayem, berubah menjadi tegang saat Bang Asa mulai menatap tajam Setya. Mendengar kata 'Ibu' saja, Bang Asa sudah tersulut emosi.

"E-enggak, Bang. Ibu yang--"

"Stop panggil dia Ibu, Setya!" sentak Bang Asa.

Tentu Setya kaget mendengar sentakan Bang Asa. Ini bukan yang pertama, namun Setya masih belum cukup terbiasa dengan itu.

"Bang Asa, bisa tolong dengerin Setya dulu? Jangan apa-apa emosi," ucap Setya menatap berani Bang Asa, ia tak bermaksud menantang, ia hanya ingin Abangnya mendengarkannya tanpa emosi yang diutamakan.

"Ibu yang lebih dulu ngehampiri Setya. Awalnya Setya juga menghindar untuk menghargai Bang Asa, karena Setya cukup sadar diri, selama ini Bang Asa sudah menanggung banyak beban untuk menghidupi Setya. Tapi Bang, waktu Ibu bilang dia rindu dan pengen peluk Setya, tubuh Setya refleks berhenti, walau setelahnya Setya memilih pergi dari sana." Setya menjeda penjelasannya, hanya untuk melihat reaksi sang Abang. Dirasa Bang Asa hanya diam, Setya melanjutkan ucapannya.

"Setya enggak munafik, Bang. Setya juga rindu dan pengen dipeluk sama Ibu. Setya juga pengen rasain punya Ibu. Setya tahu, Ibu salah. Tapi Setya enggak bisa membohongi perasaan Setya sendiri, kalau jauh di dalam hati kecil Setya, Setya menginginkan kasih sayang seorang Ibu."

"Setya juga tahu, Setya enggak ada hak buat larang Abang untuk benci ke Ibu. Karena Cakra pernah bilang ke Setya, sebelum Setya ngerasain luka, Bang Asa jauh lebih dulu ngerasain itu semua. Tapi Bang, apa salahnya kita mendengar penjelasan Ibu? Sesalah apapun Ibu, Ibu tetap yang ngelahirin kita, Bang."

KrisanPhilia [Selesai] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang