BAB 02 : Yang Bertolak Belakang

92 11 3
                                    

Sore itu aku duduk di dekat jendela kamarku, kemudian melihat sebuah mobil asing berhenti tepat di depan rumah kami. Tak lama setelahnya pintu bagian penumpang terbuka, turunlah Artemis dari sana.

Oh, jadi ini alasan kenapa tadi pagi dia ikut mobil papa? Soalnya ada yang mengantarnya pulang.

Aku kurang yakin itu teman perempuan, sebab selama ini Artemis hanya mau bertemu mereka di jam bebas kerja. Seperti akhir pekan, tanggal merah, dan hari libur lainnya. Dia memang cukup teratur anaknya.

Dugaanku itu adalah seorang laki-laki. Sepertinya mereka dalam masa pendekatan kalau melihat dari gelagat yang Artemis tunjukkan. Tentu saja aku berkata demikian karena sebagai saudari kembarnya kami punya ikatan batin yang kuat. Yang dirasakannya sering terhubung denganku.

Tanpa sadar aku mendengkus. Kenapa, ya setiap Artemis merasa senang akan sesuatu aku selalu tak menyukainya? Apa karena aku iri padanya makanya jadi seperti ini?

Jauh di lubuk hati terdalamku mungkin aku ingin berada di posisinya. Itu yang jadi penyebab kenapa aku merasa 'agak' kepanasan setiap kali dia berbahagia.

Setelah beberapa menit mengamati, tebakanku tak salah. Senyum Artemis terlalu lebar di bibirnya, alih-alih membiarkan si pengemudi turun malah dia yang mendekati kaca jendela dan bicara lewat sana. Entah topik apa yang mereka bahas, tetapi tak lama kemudian dia perlahan mundur sambil melambaikan tangan, lalu berbalik memasuki halaman rumah.

Perhatianku kini beralih pada mobil yang mesinnya telah menyala. Siapa pun yang ada di balik kemudi itu pasti dia tampan, rapi, dan memiliki otak cerdas. Tipe ideal Artemis adalah yang seperti dirinya sendiri, jadi tak mungkin membiarkan sembarang orang mendekatinya.

Kekepoanku berakhir setelah kepergian mobil itu. Merasa tak ada lagi tontonan yang menarik, aku memutuskan keluar kamar untuk mengantar gelas kotor bekas jus jeruk yang tadi kuminum ke dapur.

Di tangga aku berpapasan dengan Artemis. Walau sudah sore wajahnya tidak kucel sama sekali. Masih terlihat segar seperti baru berangkat kerja, tak ada bau keringat, yang menandakan bahwa dia selalu memperhatikan dan menjaga penampilannya. Beda halnya denganku yang setelah beraktivitas padat pasti berakhir kusam tak karuan.

"Hai, Kak, mau ke bawah, ya?" tanyanya berbasa-basi, tetapi terlihat jelas ingin mengakrabi.

Aku enggan menjawab, jadi hanya lewat begitu saja.

Artemis tak menyerah, dia berbalik dan melontarkan pertanyaan lagi, "Nanti mau dimasakin apa? Aku udah pesen sama bibi tadi pagi buat dibeliin udang kesukaan kita. Rencananya mau digoreng tepung."

"Tidak usah repot-repot," jawabku dingin.

"Nggak repot sama sekali, kok. Beneran."

Tetap saja aku tak peduli. Lagi pula sejak kapan aku antusias menerima kebaikannya? Kalau tidak terpaksa juga tak akan mau.

"Atau mau request masakan lain?"

Terakhir sebelum jarak di antara kami makin jauh, dia menambahkan, "Aku mau ke kamar bersih-bersih dulu. Kakak bisa bilang nanti pas aku udah di dapur, ya."

Nihil respon, aku benar-benar mengabaikannya.

Kalau saja sekarang ada mama atau papa, mereka pasti menegurku karena sudah mengabaikan Artemis. Apalagi sampai membuat Artemis meninggikan volume suara, padahal niatnya baik sebagai seorang saudara. Menurut mereka harusnya aku menghargai, bukan acuh tak acuh seperti ini.

Takhta tertinggi di keluarga kami setelah papa memang dipegang oleh Artemis. Pendapatnya sangat didengarkan, bahkan ditunggu-tunggu. Berbeda denganku yang dari dulu jarang ditanya. Jangankan ditanya, memiliki kesempatan mengungkapkan apa yang kurasakan saja tidak. Jadi, tak usah heran kenapa aku setega ini mengabaikan mereka, karena mereka yang lebih dulu mengabaikanku. Aku hanya membalasnya.

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang