BAB 18 : Perempuan Gila [Bagian 2]

23 2 0
                                    

Lelah menghadapi sikap keras kepalaku, Atlantis memutuskan untuk mengabaikanku karena sudah kehabisan cara untuk mengusirku. Ancamannya tentang menyeretku tidak dilakukan—entah itu hanya sebatas ancaman atau awalnya berniat serius, tetapi akhirnya tidak jadi karena berubah pikiran. Apa pun alasannya, aku merasa senang. Setidaknya Atlantis belum terlalu jahat padaku, walaupun setiap kalimat yang diucapkannya terdengar kasar.

"Bukankah begini lebih baik?" tanyaku sambil menyodorkan kotak makanan ke hadapan Atlantis. "Marah hanya membuat tenaga Kakak banyak terbuang. Dan lagi, jangan terlalu kejam padaku. Sebelum jadi seperti ini, kita pernah berteman dekat."

Tidak ada jawaban. Atlantis kembali fokus pada pekerjaannya tanpa melirik sedikit pun ke arahku, seakan sekarang dia menganggapku tidak ada.

"Aku tahu perubahan ini terlalu tiba-tiba, sulit bagi kita berdua untuk bersikap tidak seperti biasanya, tapi semoga Kakak bisa menerimanya. Minimal kalau memang risih, abaikan saja. Aku tidak berharap perasaanku disambut, cukup diam dan melihatnya saja sudah lebih baik buatku."

"Lo minta gue memaklumi sesuatu yang salah?" gumamnya dengan nada ketus. "Hei, Athena, sepertinya tuduhan gue soal ada yang salah dengan otak lo itu benar, ya."

"Aku tidak akan menyangkal, terserah Kakak mau bilang apa. Aku sedang belajar untuk tidak menelan bulat-bulat kata-kata kasar yang kudengar, supaya tidak mudah merasa sakit hati."

Belum ada sahutan lagi, yang terdengar justru tekanan jari pada keyboard laptop yang semakin kuat. Sepertinya emosi Atlantis kembali tersulut, tetapi dia memilih melampiaskan pada benda tak bersalah itu alih-alih kepadaku.

"Sekarang lupakan sejenak perdebatan kita, makan dulu makanan yang sudah kusiapkan. Sayang kalau terus ditolak, Kak. Hargai sedikit usahaku yang tulus ingin memperhatikan kebutuhan perutmu."

"..."

"Kak Atlan."

"..."

"Atau mau kusuapi, supaya kau bisa sambil menyelesaikan pekerjaanmu?"

Laptop ditutup dengan tiba-tiba, Atlantis lalu menangkup kedua tangannya di atas meja dan menatapku dengan tatapan yang datar. "Gue tau lo pasti capek, karena bukan kayak gini 'kan yang lo mau? Selama ini lo udah puas dengan pertemanan kita, jadi kenapa harus merusaknya, Thena?"

"Memang, bukan seperti ini respons yang kumau," jawabku sembari tersenyum, "tapi dari mana Kakak dapat kesimpulan kalau aku sudah puas dengan kita hanya berteman? Padahal kenyataannya tidak sama sekali. Setiap kita bicara, entah itu berdua atau dengan orang banyak, aku selalu berharap lebih. Aku selalu ingin jadi pasangan Kakak, bukan hanya teman saja."

"Tapi sadar nggak sih kalo nggak sepantasnya lo begini? Gue udah punya cewek yang gue suka, dan lo juga tau persis siapa orangnya. Mestinya lo bisa tahan diri, jangan nusuk kembaran lo dengan cara ini. Salah apa Artemis sampai tega-teganya lo merusak hubungan persaudaraan kalian?"

"Kakak mau tahu? Kalau disebutkan satu per satu, ada banyak dan memakan waktu. Tapi kalau bersedia mendengark—"

"Nggak perlu! Gue nggak mau dengar lagi apa pun itu penjelasan lo, karena mulai sekarang gue meragukan kebenaran semua hal yang lo sampaikan." Atlantis kemudian mengambil tas kerjanya, memasukkan beberapa barang ke sana. "Gue masih sangat peduli dengan Athena yang dulu, karena dia sosok yang buat gue nyaman, tapi Athena yang sekarang ... maaf gue nggak bisa terima. Kejujuran lo membuat semuanya jadi buruk dan berantakan." Setelah selesai, dia langsung berdiri. Dengan ponsel dalam genggamannya, Atlantis sempat mengoperasikan benda itu sebelum kemudian menempelkannya ke telinga. "Hai, pekerjaanmu sudah selesai? Kita makan siang di luar, aku akan menjemput ke ruanganmu sekarang."

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang