BAB 04 : Tentang Atlantis Pranadipta

79 11 4
                                    

Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di dalam mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag.

Adegan tamparan tadi membuat pipiku bukan sekadar sakit saja, tetapi mulai membengkak dan terasa kebas. Tidak enaknya jadi figuran dalam sebuah film/drama itu ya seperti ini, kalau direktur atau pemeran utamanya merasa belum puas dengan adegan yang dimainkan, mereka akan mengulang-ulang. Tak apa jika mengulang hanya sebatas berdialog saja, tetapi kalau agak ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menderita menahan rasa sakitnya.

Kenapa, ya dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian makanya mantap terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai, hingga mengambil keputusan seperti ini?

Kalau dipikir-pikir semua terasa seperti berjalan mulus, nyatanya setelah dijalani jauh dari kata mulus. Mati-matian berlatih akting pun tak membuat sukses dalam sekejap, faktor keberuntungan dan punya koneksi luaslah yang utamanya.

Sebenarnya ada jalur cepat, yaitu dengan menjual diri ke beberapa produser besar. Sayangnya aku tak tertarik. Cukup hidupku saja yang menyedihkan, jangan sampai jalan yang kuambil pun sama. Lagi pula aku belum terlalu putus asa, meski peran yang kumainkan begini-begini saja belum ada peningkatannya, tetapi aku tetap menikmatinya.

Menjalani kehidupan sebagai orang lain dalam sebuah film itu menyenangkan. Terasa seperti refreshing bagiku, karena setiap karakter yang diperankan berbeda. Ada yang kehidupannya bahagia, kaya, miskin, depresi, dan biasa saja. Namun, setidaknya aku dapat gambaran jika kondisiku seperti itu nanti pasti tak akan jauh beda rasanya.

Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam tas. Layarnya yang masih menyala menampilkan satu pesan dari grup keluarga, Artemis mengirim foto di sana.

Tadinya aku berniat tak ingin membuka, tetapi rasa penasaran tiba-tiba menyergap membuatku tak bisa membendungnya.

Langsung aku masuk ke room chat, lalu mengunduh gambar tersebut.

Tak ada wajah yang disorot kamera, melainkan tangan kiri Artemis yang digenggam dan tangan lain memegang es krim. Caption-nya begini; "Pa, maafin aku, yaaaaa, tapi tangan Kak Atlan besar dan hangat. Rasanya persis seperti tangan papa ..."

Tak lama kemudian balasan dari papa masuk.

Papa: [Astaga, Nak! Bisa-bisanya dipamerin ke Papa dan mama. Kamu dapat keberanian dari mana?]

Setelah membaca, langsung kututup ponselku dan kulempar ke jok samping. Ah, rasanya menyesal sudah membuka, tahu begitu lebih baik kuabaikan saja seperti biasa.

Di sela rasa tak nyaman yang hinggap setelah melihat interaksi dekat papa dengan Artemis, Mbak Hera akhirnya kembali dengan menenteng satu kantong keresek putih.

"Lama, ya? Tadi antre banget, maklum masuk jam makan siang."

"Tak apa," jawabku singkat.

"Kenapa, tuh muka? Jutek amat."

Aku menggeleng singkat, lalu menerima botol air mineral dingin yang Mbak Hera sodorkan, berikut dengan sebungkus nasi padang.

"Sepertinya ini tidak bisa kuhabiskan, Mbak. Kebanyakan."

"Porsi normal, kok. Kau butuh banyak tenaga, Thena, lupakan diet sekarang karena adegan yang akan kau mainkan cukup menantang," ujar Mbak Hera. Raut wajahnya kentara tegas karena tak mau dibantah. "Separo aja mana cukup."

"Tapi susah habiskan semuanya. Aku lagi tidak nafsu."

"Lho, tadi katanya lapar?"

Aku diam tak menjawab, hanya fokus membuka bungkus nasi.

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang