BAB 19 : Perempuan Gila [Bagian 3]

39 5 0
                                    

Ketika aku akhirnya bergabung untuk sarapan bersama setelah lama melewatkannya, aku melihat mata Artemis bengkak. Sepertinya kejadian tadi malam membuatnya menangis, dan diam-diam aku tersenyum karena hal itu. Rupanya perlahan-lahan tindakanku mulai mengancamnya, dan malam tadi adalah pukulan yang cukup besar, terutama karena Atlantis yang mengantarku pulang, bahkan pakaian yang kupakai adalah miliknya. Siapa yang tidak akan terkejut dan berpikiran macam-macam setelah melihat itu? Bahkan jika Artemis mencoba menyangkal, dia tak akan bisa.

Meskipun aku yakin Atlantis sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, di sudut kecil pikirannya, Artemis tetap sulit untuk sepenuhnya menerima. Perempuan dan overthinking adalah paket kompleks, bahkan bagi Artemis—yang, katanya, dikenal membawa energi positif dan selalu bijak dalam menilai sesuatu.

"Apa yang terjadi? Kenapa matamu bengkak, Sayang?" tanya Mama dengan kaget saat menoleh ke arah Artemis.

"Kelihatan, ya? Maaf kalau bikin Mama khawatir. Aku cuma habis begadang nonton film sedih, makanya mataku jadi kayak gini," jawabnya sambil meringis.

"Ya ampun, Temis, kebiasaanmu dari dulu nggak berubah. Hobi banget bikin mood sendiri berantakan. Padahal, habis ini mau berangkat kerja. Apa nggak menarik perhatian orang-orang di kampus nanti? Mereka bisa-bisa ngira kamu lagi ada masalah di rumah, Nak."

"Padahal udah ditutupin pakai make up, Ma. Masih jelas banget, ya?"

"Tidak juga. Mata mamamu saja yang terlalu jeli. Papa tadi tidak akan sadar kalau mamamu tidak bilang," timpal Papa setelah menyesap kopinya. "Lagian, tumben kamu nonton di hari kerja? Biasanya 'kan pas akhir pekan, atau di tanggal merah."

"Aku keracunan spoiler dari teman, katanya filmnya sedih banget, jadi aku penasaran. Setelah ditonton, ternyata memang sesedih itu. Aku sampai sesenggukan dan ngabisin banyak tisu, Pa," jelas Artemis panjang lebar. Ekspresi dan nada bicaranya begitu meyakinkan hingga membuat orang tua kami percaya. "Kalau nanti nggak ada kesibukan, kalian coba nonton deh. Recommend banget. Alurnya bagus, dan banyak pesan-pesannya."

"Apa judulnya, Nak?" tanya Mama.

"Kembaranku adalah maut," sahutku dengan acuh. "Diangkat dari kisah nyata, tentang perselingkuhan yang bikin semua orang geram. Bahkan, ibunya sendiri sampai meninggal kena serangan jantung setelah mengetahui itu."

"Kakak apa-apaan sih? Jangan asal jawab! Bukan film itu yang kumaksud. Terus judulnya juga nggak kayak gitu." Artemis langsung menatapku dengan tatapan menahan rasa kesal.

"Terus apa? Atau sebenarnya menonton itu hanya akal-akalanmu saja?"

"Aku nggak seperti itu. Kakak nggak boleh menuduh sembarangan!"

"Sudah-sudah," lerai Papa. "Lebih baik kita sarapan. Artemis, kalau mau ikut mobil Papa, selesaikan ini dengan tenang dan jangan terkecoh oleh hal-hal yang tidak perlu. Athena, jangan memancing keributan. Kau bukan anak kecil lagi."

"Selalu begini kalau kita makan bersama. Mama nggak ngerti lagi sama jalan pikiranmu, Thena." Mama menggeleng sambil menyendokkan nasi goreng ke dalam piring, lalu menyerahkannya pada Artemis. "Semoga pasanganmu nanti bisa memaklumi dan tahan dengan sikapmu yang seperti ini. Kalau nggak, kamu juga yang akan kesulitan, karena nggak semua orang mau memahami dan menuruti keinginanmu."

"Ya, ya, semoga saja. Aku yakin doa Mama akan dikabulkan Tuhan, apalagi diucapkannya dengan penuh perasaan."

Mama kembali menggeleng mendengar responsku, tetapi kali ini tanpa komentar. Papa dan Artemis juga diam, fokus menikmati makanan seolah tidak ada perdebatan sebelumnya. Mereka memang selalu kompak dalam hal ini, saling membela satu sama lain, lalu mengucilkanku yang dianggap penjahatnya.

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang