BAB 10 : Frustrasi (Bagian 2)

74 6 0
                                    

Sebelum memasuki mobil Atlantis, aku berpamitan pada Mbak Hera dan tiba-tiba saja dia menarik tanganku mengajak berpelukan—lebih tepatnya berbisik agar tak didengar oleh Atlantis, "Kau serius melakukan ini, Thena? Ini seperti bukan dirimu yang biasanya."

"Aku ..." menghela napas pelan, aku melanjutkan, "anggap saja sedang kehilangan akal sehat, Mbak."

"Oke, bisa kuterima, tapi soal ucapanmu di apartemen tadi ... itu nggak serius, kan?"

Mulutku sontak mengatup karena tak ingin mengulang apa yang telah kukatakan. Biarlah Mbak Hera terjebak dengan pikirannya sendiri, soal perasaanku adalah otoritasku. Dia bebas memberi nasihat, tetapi soal menerima atau tidaknya tergantung diriku sendiri. Aku lebih tahu apa yang harus kulakukan, orang lain hanya sebatas melihat, tak merasakan dan tak pernah berada di posisiku.

"Aku pulang ya, Mbak. Makasih udah diizinin istirahat di tempatmu," ucapku pelan, setelah itu menarik diri dan berbalik menuju mobil.

Mbak Hera hanya menghela napas, lalu tak lama setelah itu terdengar sahutan di belakangku, "sama-sama. Hati-hati di jalan, kalau udah sampai rumah tolong kabari aku."

Mobil perlahan keluar dari area gedung apartemen setelah Atlantis turut berpamitan pada Mbak Hera. Tadi mereka memang sempat berjabat tangan saling memperkenalkan diri, hanya perkenalan singkat karena tujuannya murni menjemputku. Tak lebih dari itu. Andai tak dimintai tolong olehku, tidak mungkin Atlantis mau datang ke sini atas inisiatifnya sendiri. Lagi pula buat apa? Tak ada untungnya juga bagi dirinya.

"Makasih sudah mau datang," ucapku lirih, memecah keheningan yang sedari tadi melingkupi kami.

"Sama-sama. Oh iya, Thena, bisa minta tolong telepon Artemis? Gue lagi nyetir, nggak bisa pegang HP."

"Buat apa?"

Seakan ada yang aneh dari pertanyaanku, Atlantis sampai harus melirik ke arahku lebih lama sebelum kemudian kembali fokus menatap depan. "Kalian bertengkar, ya? Artemis cemas pas lo nggak bisa dihubungi, makanya waktu gue kasih tau ke dia kalau lo minta dijemput, dia lega banget dan mohon ke gue buat anter lo ke rumah kalian. Ini sekarang gue yakin dia nunggu sambil gelisah, makanya sebelum itu lo mesti kirim pesan dulu biar dia bisa lebih tenang."

"Aku bukan anak kecil lagi, tak perlu melakukan apa-apa toh nanti sampai juga. Selama belum tidur lebih awal, dia pasti bisa melihatku."

"Hei, gue nggak tau kalau lo orangnya keras kepala kayak gini," ujar Atlantis geli. "Perasaan dulu enggak, selalu iya-iya aja dan cenderung agak pemalu."

"Kakak yang kurang mengenalku."

"Hm, begitu, ya? Padahal gue kira kita dekat sampai gue pernah abisin separo nasi kotak lo pas lo udah kekenyangan waktu kita istirahat di bazar dulu."

Sontak aku teringat hal itu dan tak bisa dicegah pipiku mulai terasa panas. Namun, bukan hanya nasi kotak saja yang berkesan, tetapi saat Atlantis minum air mineral dari botol milikku jauh lebih membekas di ingatan. Sebab aku sudah mengartikan kalau secara tak langsung kami sudah berciuman.

Ah, mirisnya yang menganggap seperti itu hanya aku sendiri, Atlantis mana pernah mengartikan secara romantis. Terlebih sampai sekarang pandangannya padaku tak pernah berubah, tetap teman tak lebih.

"Ternyata Kakak mengingatnya ..."

"Tentu saja, jangan ragukan ketajaman memori gue, Thena. Leonardo da Vinci pun bakal minder."

Humor yang sama, cara tertawa yang sama, bahkan gesturnya pun tak jauh berbeda. Tak heran mengapa perasaanku tidak berubah, karena pria yang kusukai dari dulu sampai sekarang sikapnya masih sama; hanya dari segi penampilan terlihat lebih maskulin dan dewasa. Umur hanya membuat Atlantis jadi makin tampan dan memiliki daya tarik luar biasa.

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang