Papa: [Pulang syuting, temui Papa di ruang kerja.]
Aku membacanya tepat setelah syuting adegan hari ini berakhir. Sembari pasrah membiarkan Mbak Hera menghapus riasan dan melepas hijab yang kukenakan, aku berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga papa yang biasanya jarang menghubungi, tiba-tiba mengirim pesan secara pribadi.
Pasti ada hal penting yang ingin beliau bicarakan, aku yakin. Dengan hubungan kami yang tidak dekat ini, mana mungkin beliau tiba-tiba mengajakku mengobrol santai selayaknya dengan Artemis. Mustahil sekali, bahkan dalam pikiran sekalipun aku belum pernah membayangkannya.
"Mbak, kalau malam ini suasana hatiku kacau, boleh tidak aku menginap di apartemenmu?"
Gerakan tangan Mbak Hera terhenti, dia melirik ke arah kaca rias dan kami bertemu pandang di sana. "Memangnya kenapa? Ada masalah?"
"Always, tapi sepertinya ini lebih dari yang biasa."
"Soal apa memangnya?"
"Belum tahu."
"Lha?"
"Aku nebak duluan saja, jaga-jaga kalau yang kukhawatirkan ini akan terjadi."
"Thena, serius, deh, jangan dibiasain kayak gitu. Semua yang terjadi berdasarkan prasangkamu, kalo prasangkamu baik, aku yakin hasilnya bakalan baik juga. Sebaliknya kalo buruk, hasilnya pun akan ikut buruk."
"Masalahnya ini keluargaku, Mbak. Hubungan kami tidak begitu baik, berharap apa kalau aku bicara dengan mereka atau hanya salah satunya saja? Berdamai dan bermaaf-maafan? Tidak mungkin."
"Siapa yang tau, kan? Makanya jangan lelah berdoa, semoga kelak hati mereka dilembutkan dan terketuk mau menyadari kesalahan. Nggak ada yang namanya mantan papa, mama, dan adik, Thena. Ikatan itu sudah terbentuk bahkan sebelum kau lahir ke dunia."
"Kalau bisa meminta pun aku tidak mau seperti ini. Mbak tau betapa besar keinginanku hidup layaknya orang normal? Dicintai dan diperhatikan? Kepribadian pesimis ini sudah terbentuk sejak kecil, tidak hanya sehari atau dua hari. Doa sudah banyak kupanjatkan, tapi sampai sekarang belum terkabul. Dari situ kupikir sia-sia saja, makanya tak berharap lagi."
Sepertinya kata-kataku terlampau dalam, makanya sukses membuat Mbak Hera bungkam. Saat ini dia hanya berdiri diam, menghela napas pelan, lantas kemudian meremas kedua bahuku pelan. Aku tahu tindakannya ini adalah upaya meminta maaf sekaligus menguatkan, karena merasa kesulitan merangkai kalimat yang tepat untuk disuarakan.
"Saat emosional, tanpa sadar aku jadi terkesan menyudutkan dan melampiaskannya padamu. Maafkan aku, Mbak, semuanya keluar begitu saja. Aku tidak bermaksud bersikap seperti itu, padahal kau sangat peduli padaku," ucapku akhirnya dengan raut wajah merasa bersalah.
"Nggak, Thena, aku yang memulai. Harusnya aku lebih bisa mengendalikan diri, cukup jadi pendengar dan mendukungmu secara moril, bukan sok bijak dengan menanggapi," sanggahnya.
"Mungkin apa yang kau lakukan itu hal yang wajar, kalau posisinya dibalik pun aku pasti akan begitu juga."
"Hhh, maafin aku ya, Thena ..."
"Iya, Mbak, aku juga," lirihku.
Setelah suasana mencair, Mbak Hera melanjutkan pekerjaannya sampai selesai. Dan, kami meninggalkan ruangan ganti tepat pukul empat sore, menuju tempat parkir mobil dengan sedikit tergesa-gesa karena Mbak Hera baru ingat kalau malam ini ada janji makan di rumah mertuanya. Sebagai menantu yang baik dia harus tiba lebih awal untuk membantu bersiap, bukannya datang terlambat dan tinggal menikmati makanan yang sudah jadi.
"Sumpah aku nggak ingat sama sekali, Thena. Harusnya tadi kita sat-set biar cepat selesai, bukannya terjeda karena obrolan panjang lebar."
"Aku salah karena membawa topik yang berat, Mbak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Cintai Aku!
Romance"Kalau bisa mengulang masa lalu, apa yang ingin kau perbaiki?" *** Selama ini Athena Ranjana hanya mencintai satu pria yang bernama Atlantis Pranadipta. Namun, begitu sulit mendapatkan hatinya karena Atlantis justru tertarik pada kembarannya, Artemi...