BAB 15 : Pengakuan yang Menyedihkan

84 4 0
                                    

Rasa sakit di kaki kananku semakin parah seiring perjalanan menuju rumah sakit. Kepalaku bersandar di sandaran jok mobil, dengan tangan yang tanpa sadar meremas erat lengan Atlantis. Suasana malam yang sebelumnya tenang kini terasa mencekam karena ketidaknyamanan yang kurasakan. Penyesalan mendalam menyelimuti pikiranku—seandainya tidak kehilangan akal sehat, semua ini mungkin tidak akan terjadi.

"Maafkan aku, Kak ..." ucapku dengan suara pelan, tak berani menatap Atlantis.

"Maaf? Maaf buat apa?" tanyanya sambil menoleh sekilas.

"Buat semuanya ..."

"Lo nggak salah, Thena. Ini cuma kecelakaan kecil. Musibah bisa terjadi kapan aja, kita nggak bisa menghindarinya."

"Tapi—"

"Sssttt, sekarang diam dan istirahat. Pasti sakit banget, kan? Simpan tenaga lo buat nanti di rumah sakit."

Sesampainya di rumah sakit, Atlantis langsung membawaku ke UGD. Setelah memberikan penjelasan singkat tentang apa yang terjadi, kami segera diarahkan ke ruang pemeriksaan. Selama menunggu dokter, Atlantis duduk di sampingku, wajahnya tampak sedikit khawatir meski berusaha keras untuk tidak menunjukkannya.

Tak lama kemudian, dokter datang dan memeriksa kakiku secara cermat. Dengan hati-hati, dokter menjelaskan bahwa ada kemungkinan tulang metatarsal di kaki kananku mengalami retak. Aku diharuskan menjalani rontgen untuk memastikan diagnosis tersebut, dan jika benar, perlu penanganan lebih lanjut.

Atlantis terus menemaniku selama proses pemeriksaan dan rontgen. Aku bisa merasakan betapa besar kepeduliannya, sama seperti dulu. Saat hasil rontgen keluar, dokter mengonfirmasi bahwa tulang metatarsalku memang retak dan memerlukan pemakaian gips serta istirahat yang cukup.

Saat dokter pergi untuk mengurus administrasi dan pengaturan perawatan, Atlantis tetap di sisiku, duduk di kursi samping brankarku. Ekspresi wajahnya sedikit lebih rileks dibandingkan sebelumnya, dan aku merasa tidak enak karena sudah membuatnya kerepotan seperti ini.

Sambil menunggu proses penggipsan, aku memberanikan diri bicara lagi untuk memecah kesunyian sekaligus mengalihkan perhatian dari rasa sakitku. "Sekali lagi maafkan aku. Tidak seharusnya aku mengganggu waktu Kakak seperti ini ..."

"Jangan ngomong gitu, Thena. Gue nggak ngerasa terganggu sama sekali. Justru gue bersyukur bisa cepat nolong lo sebelum keadaannya jadi lebih parah."

"Tapi gara-gara itu ponselmu—"

"Ah, itu bukan masalah besar. Tadi sempat gue cek, ada retak di bagian layar, tapi semoga itu cuma kena anti goresnya aja," jelasnya dengan nada yang tenang.

"Aku pasti akan bertanggung jawab."

"Nggak usah, masih nyala, kok."

"Pokoknya aku akan memperbaikinya. Kakak tidak boleh menolak lagi. Titik!" putusku tegas.

Atlantis akhirnya menyerah, mengangkat sebelah tangan lalu tangan yang lain menggaruk belakang kepalanya. "Oke, deh, lo menang," ujarnya.

Beberapa jam kemudian, aku sudah selesai dengan penggipsan dan Atlantis membantuku kembali ke mobil. Selama perjalanan pulang, dia memberikan semangat dan berusaha membuatku tertawa dengan guyonannya. Meski rasa sakit masih ada, usaha Atlantis untuk menghiburku membuatku merasa lebih baik.

Sesampainya di rumah, dia masih membantuku turun dan memapahku sampai depan pintu. Namun, saat kami baru menaiki undakan tangga kedua, pintu terbuka, Artemis dan Mama muncul dari sana. Ekspresi mereka tak bisa kupastikan, tetapi satu hal yang jelas; mereka masih mengenakan pakaian yang sama seperti sebelumnya.

"Apa yang terjadi? Kenapa kaki Kak Thena pakai gips?" tanya Artemis berturut-turut.

"Dia tersandung—"

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang