BAB 08 : Sad Girl Irony

96 7 3
                                    

"Dulu ... kayaknya ak—gue belum pernah dengar cerita kalau lo punya saudari kembar, Thena."

Baru dua kali mengunyah nasi, aku langsung meraih gelas berisi air putih dan meneguknya hati-hati agar tidak tersedak. "Itu karena ... ka-kamu tak pernah bertanya tentang kehidupan pribadiku ..." Kemudian kukembalikan gelas ke tempat asalnya, sembari mengulas senyum tipis di bibir untuk menutupi ketidaknyamanan yang kurasakan.

"Ah, mungkin waktu itu gue belum kepikiran sampai sana. Sekarang ternyata sangat disayangkan, ya."

"Kenapa? Kedengarannya Kakak nyesel?" tanya Artemis dengan mata berbinar sekaligus penasaran.

"Lumayan. Kalo dipikir-pikir pasti lucu seandainya kita udah kenal dari dulu. Pertemuan kita sebagai sesama dosen ini bukan yang pertama, melainkan jadi ajang reuni."

"Aku nggak bisa bayangin, sih, tapi aku bakal senang ketemu Kakak lagi. Kalau skenario yang Kakak maksud terjadi, kuharap entah di masa lalu atau pun di masa sekarang, hubungan kita harus tetap baik-baik aja. Karena aku merasa ... beruntung bisa kenal sama Kakak."

Atlantis menatap Artemis dengan tatapan yang ... lembut. How lucky she is. Entah dulu atau pun sekarang aku tak akan bisa mendapatkannya. Selama apa pun kami mengenal, kalau aku bukan orang yang disukai Atlantis, maka tempatku tak lebih dari sebatas teman di matanya.

"Dan cerita itu akan terjadi kalo kita berada di kampus yang sama." Meletakkan sendok dan garpu ke sisi piring, Atlantis lalu bergantian menatapku dan Artemis. "Kenapa kalian mutusin kuliah di universitas yang berbeda? Biasanya 'kan kembar selalu barengan, paling jauh pisah kelas, kalo sekolahnya tetap satu."

"Aku—"

"Papa dan mama udah setuju sama kampus pilihanku, tapi ternyata Kak Thena nggak sependapat waktu itu. Jadilah kami pisah, padahal dari TK sampai SMA sama-sama, kok," Artemis memotong kalimatku. Masih dengan pembawaan yang sangat positif, dia menambahkan, "mungkin Kak Thena mau nyari suasana baru tanpa aku, Kak. Bosan pasti ketemu tiap hari di dalam dan di luar rumah."

"Kalau selalu bertemu bukannya itu normal karena kita keluarga? Faktanya bukan begitu, aku hanya muak terus berada di bawah bayang-bayangmu. Sering dibanding-bandingkan karena tak secerdas dan seberprestasimu, lama-kelamaan membuat jengah juga," timpalku dengan nada dingin.

"Siapa yang bilang begitu? Sumpah aku baru tau sekarang, Kak. Kupikir—"

"Aku tak mau membahasnya lagi, simpan saja rasa kagetmu untuk hal lain nanti."

Atlantis mengetuk meja dua kali untuk menarik perhatian kami. "Ini perdebatan normal antara anak kembar, kan?" Setelah itu, dia tertawa. "Ternyata kalian masih punya sisi kekanakan juga, dan itu terlihat lucu."

"Tolong beritahu siapa yang paling lucu di antara kami. Aku atau Kak Thena yang udah lama Kak Atlan kenal?" Artemis menantang dengan niat bercanda, tetapi diam-diam dia berharap pada jawaban tersebut.

"Mungkin ... kau. Kalo Thena, seingatku dia selalu serius. Sulit menemukan sisi lucu dari sorot mata dan raut wajahnya yang lurus itu."

Lantas keduanya kembali tertawa, dan Artemis terlihat merona karena akhirnya pujian itu ditujukan untuknya.

Aku tentu saja langsung kehilangan selera, padahal belum ada setengah nasi di piring yang berhasil masuk ke dalam perutku. Malam ini semuanya terlihat memualkan, mulai dari pertemuan yang tiba-tiba dengan Atlantis, sampai makan bersama dan melihat interaksinya yang manis dengan Artemis.

Kupikir saat tersial dalam hidup adalah ketika diganggu Mahendra, nyatanya takdir kami yang se-menggelikan ini lebih sial daripada kesialan lain yang pernah kualami.

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang