Pundakku ditepuk seseorang saat sedang berjalan santai pulang dari taman komplek. Sembari melepas Airpods dari kedua telinga, aku menoleh ke belakang dan mendapati Bu Mila—salah seorang tetangga dekat rumah kami—menyodorkan sebuah paper bag ke arahku. "Pantes dipanggil-panggil nggak noleh, ternyata kupingnya disumpel, toh."
"Iya, maaf, Bu. Tapi ini ... buat apa?"
"Diterima dulu, udah pegel, nih tangan saya pegangnya dari tadi."
Sembari tersenyum kecut aku menyambut paper bag tersebut, lalu melirik sekilas isi dalamnya sebelum kemudian menatap Bu Mila lagi. "Saya—"
"Nitip minta tolong dikasih ke Artemis, ya. Kemarin dia bantu nyariin kucing saya yang ilang, kebetulan hari ini Radit anak saya baru pulang perjalanan dinas dari Ambon. Dia bawa oleh-oleh kue sagu. Nah, saya keingat Artemis dan kepingin bagiin kue ini ke dia juga."
"Kenapa tidak Ibu saja yang langsung mengantarnya?" tanyaku agak ketus, karena mendadak tak bisa mempertahankan nada ramah. "Jam segini biasanya dia sudah di rumah."
"Tadi maunya gitu, tapi kebetulan pas saya baru keluar halaman lihat kamu pulang jogging dari arah taman. Ya udah dititipin aja."
"Saya—"
"Kamu boleh minta, kok, tapi izin dulu sama Artemis. Saya 'kan niatnya ngasih ke dia, bukan ngasih ke kamu."
"... iya."
"Makasih, Thena. Oh, tolong bilang ini juga ke Artemis; kalau ada waktu luang, main dong ke rumah saya. Ngobrol-ngobrol santai sama Radit, soalnya Radit baru putus sama pacarnya. Siapa tau Artemis berubah pikiran, mendadak tertarik dan ingin mencoba pendekatan dengannya."
"Akan saya sampaikan, tapi sebagai saudari kembarnya saya rasa Artemis akan menolak undangan Ibu. Apalagi dia sudah punya calon sendiri, mereka makin lengket akhir-akhir ini."
Ekspresi Bu Mila langsung berubah, dari yang berusaha supel jadi bersungut-sungut. "Itu 'kan menurutmu, kalau menurut Artemis jelas berbeda. Sekalipun dia benar menolak, pasti bahasanya nggak sekasar ucapanmu tadi."
"Kasar atau tidak, penolakan tetaplah penolakan, Bu. Tak akan berubah walau disampaikan dengan kalimat yang lembut."
"Sok tau banget kamu! Udah sana pulang, terus kasih kue itu ke Artemis. Awas kalo barangnya nggak sampai! Nanti bakal saya pastiin ke Artemis-nya langsung."
Andai saja aku masih betah meladeni, sudah kupastikan menyahut omongan Bu Mila dengan jawaban yang setingkat lebih sinis. Sayangnya aku masih bisa menahan diri, apalagi tubuhku terasa lengket karena tadi banyak berkeringat. Jadi, lebih baik aku pulang sekarang dan segera mandi, daripada terus menghadapi tingkah beliau yang terkesan sombong serta tak tahu cara berterimakasih.
Sambil melongos aku berbalik dan beranjak pergi. Meninggalkan Bu Mila yang masih betah di tempatnya berdiri.
"Dasar nggak punya sopan santun! Beda jauh sifat sama kembarannya. Pantes aja banyak yang nggak suka, orang sesongong ini rupanya."
Kembali aku memasang Airpods agar tak lagi mendengar kicauan Bu Mila. Suara musik jauh lebih merdu daripada suara beliau. Orang seperti beliau memang pantas diabaikan, sebab mendengarkan hanya akan membuang-buang tenaga.
Menjadikanku pesuruh dengan berlindung di balik kata 'minta tolong', ha benar-benar menyebalkan! Kenapa harus ada orang seperti itu di sini? Kenapa pula aku yang terseret, padahal ini semata untuk Artemis? Sering kali aku dilibatkan dalam suatu hal yang menyangkut adikku, tetapi selalu ada kejadian yang mengharuskanku jadi tumbal untuk membuat namanya makin bersinar.
Entah karena takdir buruk atau pun karena situasi yang kurang menguntungkan, intinya kedua hal itu sama sekali tak terasa adil buatku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Cintai Aku!
Romance"Kalau bisa mengulang masa lalu, apa yang ingin kau perbaiki?" *** Selama ini Athena Ranjana hanya mencintai satu pria yang bernama Atlantis Pranadipta. Namun, begitu sulit mendapatkan hatinya karena Atlantis justru tertarik pada kembarannya, Artemi...