BAB 05 : 'Alasan Menyukaimu'

71 7 5
                                    

Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20 ...

"Hei, awas!"

Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara, "Kalau mau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!"

Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Terlebih si pengendara sudah jauh tak terlihat lagi.

"Kamu nggak pa-pa?"

"E-eh, iya, tidak apa-apa." Langsung aku berbalik dan membungkuk beberapa kali. "Makasih banyak. Berkat bantuanmu aku jadi selamat."

"Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya."

Setelah orangnya berlalu baru tatapanku tertuju ke arah wajahnya. Mendadak aku tertegun selama beberapa saat, antara terpesona dengan rupanya dan berusaha mengingat-ingat siapa namanya.

Aku tahu dia kakak tingkatku dan cukup terkenal di angkatan kami. Selain karena tampan, keaktifannya dalam organisasi juga sangat diapresiasi. Intinya dia salah satu cowok yang sering jadi buah bibir di kalangan cewek. Sebagai pengamat serta pendengar, aku menampung semua informasi dengan baik. Jadi, aku cukup hafal tanpa harus mengenal orangnya terlebih dahulu.

"Ah!" Tiba-tiba aku berseru sambil menepuk pelan keningku, sekarang aku ingat siapa dia; Atlantis Pranadipta dari jurusan Ilmu Hukum! "Dilihat dari dekat ternyata jauh lebih tampan," gumamku lirih.

Sepertinya Atlantis adalah cowok pertama yang kukagumi dan kupuji di pertemuan pertama kami. Ternyata benar apa yang dibilang teman sekelasku, pesona Atlantis sulit dilawan. Orang buta pun akan salah tingkah kalau terlalu lama berada di sampingnya.

Berusaha menyadarkan diri dari betapa bahayanya daya tarik Atlantis, aku menggelengkan kepala berulang kali hingga mengingat kembali alasan kenapa aku hampir ditabrak tadi; menyeberang jalan menuju kampus.

Sumpah, aku sudah celingak-celinguk memerhatikan sekitar! Jalanan cukup lenggang waktu itu, naasnya saat mantap ingin menyeberang, motor tersebut tiba-tiba muncul dengan kecepatan tinggi. Harusnya si pengendara mengumpati dirinya sendiri karena tak melihat arah depan dengan teliti, bukan aku yang tidak salah apa-apa ini.

Syukur-syukur kecelakaan tak terjadi, kalau sampai terjadi dan tubuhku luka-luka, kupastikan akan memeriksa rekaman CCTV di sekitar sini dan menuntutnya sampai mati.

Mengabaikan rasa kesal yang mendadak timbul, bergegas aku menyeberang karena kuliah jam pertama hampir dimulai. Kalau masih bertahan termenung di trotoar, maka sudah dipastikan akan terlambat. Dan, aku paling benci terlambat. Selain enggan ditanya-tanya dosen, aku juga tak ingin duduk di belakang bersama cowok-cowok berandalan.

Sepuluh menit kemudian aku sudah di dalam kelas, menempati bangku di barisan kedua mepet dinding. Untungnya masih ada satu kursi yang tersisa, jadi tanpa pikir panjang aku langsung menempatinya.

"Tumben telat, Then?"

Menoleh sekilas dari kesibukan mengeluarkan binder dan alat tulis dari dalam tas, aku menjawab, "Ada sedikit incident tadi."

"Eh, kenapa? Tapi lo-nya nggak apa-apa, kan?"

"Seperti yang kamu lihat, aku tidak apa-apa." Kupaksa menarik kedua sudut bibir ke atas agar tersenyum. "Hampir keserempet motor, Em, untungnya tadi ada yang nolong."

"Astaga! Syukurlah, gue ikut lega dengernya," ucap Emily sambil mengusap dadanya.

Emily ini satu-satunya orang yang sering bicara denganku di kelas, meskipun begitu kami tak terlalu dekat—dalam hal bisa main bareng, makan bareng, atau pun jalan bareng. Dia tahu aku tak terlalu membaur, makanya menghargai dengan selalu menjaga batasan di antara kami.

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang