Aku sedang dalam perjalanan menemui sutradara untuk mendiskusikan jadwal syuting yang tertunda. Meski tidak lagi menggunakan kruk, kakiku yang cedera masih memakai gips. Berkat kepatuhanku pada instruksi perawatan, kondisi kakiku terasa lebih baik dibanding terakhir kali.
"Bagian Sherina dan Mahen sedikit lagi rampung. Mungkin nanti setelah diskusi, giliran kau yang menyelesaikan bagianmu dengan mereka," kata Mbak Hera sambil fokus menyetir. "Ya ... harus tahan-tahan aja sama Mahen. Mau gimana lagi, kan? Udah terlanjur setengah jalan di projek ini."
"Iya, Mbak, tidak apa-apa. Selama ini aku berhasil mengatasinya, ke depannya mungkin akan begitu juga."
"Aku tuh, sampai sekarang masih bingung, kok ada ya orang kayak dia?"
"Di dunia ini ada beragam jenis manusia. Yang seperti kita juga kemungkinan dipandang aneh oleh orang lain," jawabku.
"Tapi Mahen itu beda, dia kayak nggak ada kapoknya. Umur makin tua harusnya makin matang juga pikirannya, tapi dia enggak. Ada-ada saja ulahnya."
"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Jangankan memahami Mahen, memahami diriku saja masih sulit rasanya."
Mbak Hera melirik sekilas padaku. "Itu ... gimana situasi di rumah? Aman?"
"Untuk sekarang rentan, kemungkinan nanti seperti di medan perang."
"Kau rencanain apa, sih? Aku mendadak jadi takut, lho, Thena. Belakangan ini kau agak beda aja, semacam lebih berambisi dari biasanya, dan aku tau alasan di balik ambisi itu bukan soal kerjaan dan semacamnya."
Aku tertawa kecil. "Nanti lihat saja, tapi tolong Mbak jangan ikut campur, ya? Ini semua urusanku, dan aku juga tidak mau menyeretmu ke dalam situasi yang sulit."
"Sulit seperti apa? Aku peduli padamu, Thena. Seandainya itu berbahaya, sebagai teman sudah sewajarnya aku melarang."
"Bukan berbahaya, tapi penuh risiko."
Helaan napas Mbak Hera terdengar berat. Dia belum menyahut lagi karena harus membelokkan mobil memasuki area parkir depan cafe tempat pertemuan kami.
Sambil menunggu, tiba-tiba dering ponsel menyita perhatianku. Segera kukeluarkan benda tipis itu dari dalam tas, dan tersenyum tipis saat melihat nama yang tertera di layar. Tak ingin membuang waktu, kugeser tombol hijau lalu kutempelkan ponsel ke telinga. "Halo, Kak."
"Apa-apaan ini, Thena?"
"Untuk makan siang. Sudah Kakak terima?"
"Lo bener-bener udah gila! Jangan lakuin ini lagi, gue nggak suka!"
"Aku melakukannya bukan untuk memaksa Kakak suka, tapi demi diriku yang tulus ingin memberi perhatian padamu."
"Masalahnya ini berhubungan sama gue dan buat gue risih!" desis Atlantis kesal. "Cukup sekali ini gue maklumi, setelahnya enggak lagi. Dan gue nggak mau bikin Artemis nggak nyaman. Paham?"
"Tidak, aku akan terus melakukannya. Aku akan mengejar Kakak mulai hari ini."
"Sampai kapan pun gue nggak akan terima perasaan lo!"
"Tidak masalah, hati seseorang bisa berubah," ucapku tenang, menatap lurus ke depan. "Sekarang Kakak bilang begini, siapa tahu besok beda lagi. Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan, kan?"
"Puas-puaslah bermimpi, karena itu nggak akan pernah terwujud!" Klik, panggilan diakhiri. Kuturunkan ponsel dari telinga, kupandangi layarnya sampai mati. Helaan napasku sedikit memburu akibat percakapan tadi. Ternyata sulit juga menjadi perempuan gila; aku masih belum terbiasa, sehingga merasa sesak setiap mendengar nada tinggi dari kata-kata Atlantis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Cintai Aku!
Romance"Kalau bisa mengulang masa lalu, apa yang ingin kau perbaiki?" *** Selama ini Athena Ranjana hanya mencintai satu pria yang bernama Atlantis Pranadipta. Namun, begitu sulit mendapatkan hatinya karena Atlantis justru tertarik pada kembarannya, Artemi...