BAB 09 : Frustrasi (Bagian 1)

71 7 0
                                    

"Kau serius menerima tawaran film ini, sekalipun sudah tau siapa-siapa saja yang bermain di sana?" tanya Mbak Hera, setelah terdiam selama beberapa saat.

"Iya."

"Mahendra Wisnuaji aktor utamanya, kau nggak lupa, kan?"

"Iya."

"Tatap aku sekarang, Thena! Apa yang sudah merasuki pikiranmu?"

Meski nada suara Mbak Hera mulai meninggi, aku tetap tak mengalihkan fokus dari kaca jendela. Bukan karena ada yang menarik di sana, tetapi karena isi kepalaku terlalu penuh sampai rasanya seperti orang linglung.

Keputusan yang kuambil sekarang bukan berdasarkan pertimbangan, melainkan tindakan impulsif. Selain ada hal yang membuatku merasa sedih, faktor lainnya juga disebabkan minimnya tawaran main film/drama yang membuatku tak mempunyai banyak pilihan. Menolak artinya kehilangan kesempatan, menerima sama dengan membahayakan diri.

"Ingat kejadian saat audisi? Dia melecehkanmu, Thena. Dia bersenang-senang dengan menginjak-injak harga dirimu."

"Aku tak pernah lupa."

"Lantas kenapa?"

Mbak Hera menolehkan kepalaku dengan paksa lantaran mulai kesal karena aku masih kekeh tak mau menatap ke arahnya. "Apa yang membuatmu jadi seperti ini?"

Sambil menghela napas dan memijat pangkal hidung, aku menjawab, "Kesempatan yang kupunya tidak banyak, Mbak, kalau menolak aku tak akan dapat apa-apa."

"Kau? Jangan bilang kau menerima karena—"

"Aku senang berakting, dengan berakting aku bisa lupa sejenak dengan masalah yang ada. Lalu aku juga peduli padamu, pasti tidak mudah bekerja dengan aktris yang sepi job. Makanya tak bisa kutolak karena saat ini hanya tawaran film itu yang satu-satunya datang padaku."

"Ya ampun, Thena, jangan begitu. Aku suka dan menikmati bekerja denganmu, tak ada sedikit pun rasa terpaksa, apalagi sampai mengeluh soal job yang sepi. Jadi, kumohon jangan berkorban hanya demi membuat kita sibuk, tolong lebih utamakan kenyamananmu dulu baru setelah itu memikirkan orang lain."

"Situasinya tidak memungkinkan untuk seperti itu, Mbak. Kuharap kau bisa menerima keputusanku ini."

Tatapan Mbak Hera sedikit meredup. "Apa kau sanggup menahannya? Aku takut kau berakhir jadi korban Mahendra seperti yang sudah-sudah," lirihnya.

"Tidak akan, percayalah. Kau mengenalku 'kan, Mbak?"

Tak ada jawaban, kali ini dengan sorot yang lebih meyakinkan aku menambahkan, "Sebisa mungkin aku menjauhinya dan tak memberinya cela untuk mendekat kalau itu bukan bagian dari akting kami."

"Baiklah, aku akan mengawasi dan mencoba membantumu sebisaku, Thena. Semoga saja yang kita khawatirkan nggak akan terjadi," ucap Mbak Hera, meski dengan ragu-ragu.

Akhirnya setelah obrolan berat itu, kami keluar dari mobil yang sejak puluhan menit lalu telah terparkir tepat di depan gedung perusahaan yang akan memproduksi film 'Dua Sisi'.

Siapa yang menyangka aku lolos dari audisi terburuk waktu itu. Hari ini kami melakukan pertemuan dengan sutradara, penulis naskah, dan aktor-aktris utama. Meskipun amarah belum mereda, tetapi aku harus bisa menahannya saat bertemu Mahendra mengingat dia aktor utama. Kuharap kali ini emosiku bisa lebih stabil, dengan begitu semuanya akan berjalan lancar tanpa berakhir kacau.

Aku benar-benar butuh film ini, sangat butuh hingga berani mengambil langkah nekat keluar dari zona aman. Tentu saja berisiko dan berbahaya, tetapi semoga saja aku bisa melewatinya nanti. Tuhan pasti melindungiku, tidak mungkin selamanya aku dibiarkan berada dalam situasi yang merugikan padahal aku tak pernah melakukan kesalahan fatal.

Tolong, Cintai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang