4

311 13 0
                                    


" Ibu gabisa menjanjikan banyak Nara, tapi paling tidak sebisa mungkin nanti ibu bantu untuk mencari orang yang mau membeli rumah kamu ini . Apa kamu yakin mau menjualnya? Bukankah rumah ini satu-satunya peninggalan orang tua kamu kan, lalu setelahnya kalian mau tinggal dimana?" .

Kata-kata itu masih teringat jelas di ingatannya, kemarin setelah kembali dari sekolahnya Nara pergi menemui tetangganya yang bernama ibu Ningsih untuk meminta bantuan mencarikan orang yang mau membeli rumahnya. Ibu Ningsih adalah orang tua kedua untuk Nara semenjak kedua orang tuanya meninggal, Nara sudah menganggapnya seperti ibunya sendiri. Kehadiran bayinya juga telah diketahui oleh wanita itu, awalnya ia tidak percaya dengan apa yang terjadi tapi setelah mendengar semuanya dari Nara sebisa mungkin ia mencoba untuk menjadi penguat bagi putra angkatnya itu, jujur ia ikut sedih atas apa yang dialami oleh remaja ini karena biar bagaimanapun dirinya sangat menyayangi Nara seperti putranya sendiri.

" Selamat datang dirumah tercinta kita.." . Ucap seorang pria yang baru saja membuka pintu rumah itu kemudian disusul oleh anak laki-laki usia 5 tahun dan seorang wanita di belakangnya.

" Woahh..ayah. ini rumah kita? Kita bakal tinggal disini? ". Tanya anak kecil tersebut antusias menatap kedalam rumah tersebut.

" Iya..ini rumah kita, mulai sekarang dan seterusnya ayah, ibu dan Nara akan tinggal bersama disini. Meskipun tidak besar tapi kita akan ciptakan kebahagiaan yang besar di dalamnya, Nara suka dengan rumahnya? " . Pria tersebut tersenyum kemudian menjawab pertanyaan putra kecilnya.

" Nara suka ayah..". Jawab anak kecil tersebut kemudian tersenyum.

" Kalau Nara suka dengan rumahnya, Nara harus janji sama ayah untuk ikut menjaga rumah kita ya jangan biarkan rumah ini dimiliki orang lain" . Kata ayahnya berjongkok di depan Nara kemudian mengelus pipi bulatnya dengan sayang.

" Eum! Nara janji ayah! " . Serunya bersemangat .

Sekelebat kenangan percakapan antara dirinya dengan ayahnya dulu terlintas kembali di ingatan Nara, yang mana membuatnya menangis.

" Maafin Nara ayah, Nara gabisa menepati janji itu. Maaf Nara juga sudah membuat kalian kecewa disana hiks..maafin Nara " . Dirinya menangis menatap kearah bingkai foto mendiang ayah dan ibunya .

Nara berencana akan menjual rumah ini dan pergi jauh bersama dengan putranya. Bukan tanpa alasan dirinya melakukannya, ia ingin memulai kehidupan baru bersama bayinya tanpa mengganggu wanita itu. Bukan maksud ingin menjauhkan putranya dari ibunya, tapi setelah tidak sengaja bertemu dengan wanita tersebut di lorong sekolah kemarin dirinya melihat Melina benar-benar menolak bayi mereka sepenuhnya berhasil melukai dan juga membuatnya yakin jika Melina memang tidak membutuhkan mereka, terlalu banyak luka untuknya di tempat ini itu sebabnya ia ingin membawa jauh putranya kalau bisa sejauh mungkin sampai tidak ada siapapun yang bisa menemukan mereka, dirinya juga ingin menata kembali hatinya yang berhasil di hancurkan oleh wanita yang ia cintai. Sejujurnya Nara berat untuk kehilangan rumah ini, tapi mau tidak mau ia harus melakukannya demi masa depan putranya.

Setelah puas menangis dan merenung beberapa saat, dirinya menghapus sisa air matanya kemudian beranjak menuju kamar untuk melihat apakah putranya bangun atau belum . Membuka pintu kamar perlahan, lalu melihat ke tempat tidur tersebut yang mana terdapat bayinya yang masih tertidur lelap dengan sesekali tersenyum lucu . Sepertinya bayi tersebut tengah memimpikan sesuatu yang membuatnya senang, Nara berjalan menghampirinya kemudian duduk di sisi ranjang.

NAVARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang