14

217 17 4
                                    

Nara mendorong kursi rodanya ke depan pintu kamar Nava, di depan pintu kayu berwarna coklat itu Nara menarik nafasnya sejenak kemudian mengetuknya perlahan . Untuk beberapa saat tidak ada respon apapun dari dalam, Nara kembali mengetuknya hingga akhirnya perlahan pintu tersebut terbuka dan menampilkan sosok Nava yang hanya berdiri diam memandangnya . Nara menarik kedua sudut bibirnya
tersenyum menatap kearah putranya .

" Makan dulu ya nak, ayah udah selesai masak " . Ucap Nara mengajak anak itu untuk makan, sebab selepas pulang dari sekolah tadi putranya itu langsung masuk kedalam kamar tanpa berbicara sepatah katapun padanya tentu saja hal itu membuat Nara merasa bersalah . Ia tau anak itu pasti masih marah dan kesal padanya, Nara ingin sekali membujuknya namun Haris menyarankan untuk membiarkannya menenangkan diri terlebih dahulu, ia tidak ingin Nara kembali mendapatkan makian dari bocah nakal itu . Haris tadi juga sudah memberitahu pada Nara kalau sebelum pulang tadi ia sudah mengajak anak itu makan diluar, jadi Nara tidak perlu terlalu khawatir .

Kembali pada keadaan sekarang, tidak ada jawaban apapun anak itu malah pergi begitu saja meninggalkannya, Nara menghela nafasnya mencoba untuk bersabar . Diputarnya arah kursi rodanya kemudian pergi menghampiri putranya . Dilihatnya anak itu hanya berdiri diam menatap kearah makanan yang telah tersaji di atas meja tanpa ada niat untuk mengambil makanan tersebut .

" Makanannya cuma ini? " . Nava bertanya pada ayahnya tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan yang ada di atas meja tersebut . Disana telah tersaji tahu dan tempe yang telah digoreng serta sayur kangkung yang ditumis .

" Maafin ayah ya nak, duit ayah cuma cukup untuk beli itu " . Jawab Nara tersenyum, mencoba untuk memberi pengertian kepada putranya .

" Aku gamau makan! " . Ucapnya kemudian pergi dari sana dengan perasaan jengkel, Nara terkejut sesaat namun setelahnya ia mencoba untuk menahan pergelangan tangan anak itu .

" Nak..tunggu . Ayah mohon makan dulu ya, nanti Nava sakit kalo gak makan . Sedikit aja juga gapapa " . Nara mencoba untuk membujuknya, ia hanya tidak ingin putranya sakit nanti . Namun sepertinya sifat keras kepala anak itu kembali, dengan kasarnya ia menghempaskan tangan Nara yang masih memegangi pergelangan tangannya .

" Justru kalo aku terus-terusan makan makanan kaya gitu aku bisa sakit!, kalo ayah mau ayah sendiri aja yang makan! " . Ucapnya emosi menatap kearah ayahnya, Nara menggelengkan kepalanya pelan dengan tatapan terluka .

" Bicaranya gaboleh seperti itu ya nak, ini rezeki . Nava-nya ayah gaboleh menghina rezeki, kita harusnya bersyukur masih bisa makan nak . Diluar sana masih banyak orang-orang yang belum tentu bisa makan juga kaya kita, jadi Nava harus bersyukur " . Nara mencoba untuk menasehatinya dengan penuh kelembutan meskipun hatinya cukup terluka mendengar kata-kata putranya, tapi tidak pernah sedikitpun terlintas di benaknya untuk membentak anak ini . Nara tidak pernah bisa dan tidak akan sanggup untuk melakukannya, entah sampai kapan ia bisa bertahan dengan kesabaran itu tapi semoga saja selamanya .

" Ayah gaperlu ceramah! Aku gak butuh . Ceramah ayah juga gak akan buat makanan itu berubah jadi makanan mewah kan? diawal tempe selamanya tetep tempe! Sama kaya hidup kita, dari awal miskin sampe mati juga bakalan tetep miskin! " . Teriak anak itu marah, ia bahkan mendorong Nara menjauh darinya .

" Astagfirullahaladzim, Nava...". Ucap Nara lirih, ia memandang sendu putranya itu . " Kenapa kamu seperti ini sekarang nak?, apa yang buat kamu berubah? Dimana Nava-nya ayah yang baik dan penurut? Kenapa anak ayah jadi seperti ini..? " . Ucapnya lagi, hatinya benar-benar terluka setiap hari melihat perubahan yang terjadi pada putranya .

" Ini semua karena ayah! hidup aku menderita itu salah ayah!, coba aja aku gak terlahir jadi anak ayah mungkin aku gak akan seperti ini " . Teriaknya marah, anak itu bahkan mencampakkan seluruh makanan yang ada di atas meja tersebut sebagai pelampiasan emosinya, semuanya terhambur berantakan . Pecahan kaca bertebaran di mana-mana, anak itu tiba-tiba mengambil satu buah pecahan kaca kemudian ia genggam dengan erat hingga tampak tetesan darah yang jatuh mengotori lantai . Nara yang melihatnya jelas panik sekaligus khawatir, ia berniat untuk meraih tangan putranya tersebut namun lagi dan lagi niat baiknya ditolak . Putranya enggan disentuh olehnya, dengan mata yang memerah ia menatap kearah anak itu .

NAVARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang