15. Truth is Hurt

75 13 6
                                    

Claire

Selama dua puluh tahun gue hidup di dunia, gue tuh jarang banget punya kegiatan spesial. Hari-hari yang gue lewati ya kayak udah ketebak aja gitu bakal berjalan kayak apa. Sekarang ini rutinitas gue ya kuliah, pulang, main sama Laskar, nongkrong sama Elea, ikut kumpul KSF, udah gitu aja muter-muter. Gak ada tuh jadwal padat seperti temen-temen gue yang lain. Entah ikut seminar lah, jadi pembicara di workshop-workshop kampus, dapet pengalaman magang di perusahaan gede, jadi influencer, party sana-sini, punya circle yang super luas, dan macem-macem keseruan hidup lainnya. Everything about me is just flat. Bahasa simpelnya tuh 'lempeng'.

Mungkin satu-satunya hal yang membuat hidup gue agak ada variasinya adalah kenal dengan dengan seseorang seperti Laskar. Gara-gara dia gue jadi bisa ngerasain dateng ke after party band yang isinya orang-orang famous trus dia juga sering ajak gue jalan-jalan kemana aja, dia juga selalu ngisi hidup gue dengan cerita-cerita dia yang sangat random itu. Jadi ya hidup gue tuh walaupun lempeng tapi gak sepi karena gue punya Laskar.

Selama ini gue mengira gak akan ada yang berubah dari hidup gue selama beberapa tahun kedepan, gue akan terus bersama-sama dengan Laskar, terus mendengar cerita randomnya, terus main bareng dia sampai ke luar kota. Selama ini gue tenang karena walaupun Laskar dan gue hanya sahabatan tapi gue gak pernah merasa kehilangan dia. Walaupun dia sering gonta-ganti jalan sama cewek, gue gak khawatir dia akan menjauh dari gue karena gue tahu dia gak pernah serius sama cewek-cewek itu.

Satu-satunya cewek yang membuat gue takut kehilangan Laskar adalah dia. Gue pernah sangat jauh dengan Laskar karena cowok itu sibuk menghabiskan waktunya dengan seorang cewek yang udah dia taksir banget sejak pertama kali mereka bertemu. Namun setelah cewek itu tiba-tiba menghilang, rasa takut gue perlahan hilang karena Laskar akhirnya kembali ke gue. Gue dan Laskar kembali main bareng, gue kembali jadi tempat cerita cowok itu. Seiring berjalannya waktu dengan gue dan Laskar yang semakin dekat, rasa takut gue akan kehilangan dia lama-lama hilang.

Namun rasa takut gue kembali ketika cewek itu juga kembali.

"Apa kabar?"

Ketika lo pernah sangat dekat dengan seseorang kemudian suatu saat kalian menjadi sangat jauh hingga tidak pernah bertemu lagi dalam jangka waktu yang lama, pertanyaan seperti 'apa kabar?' gak akan pernah absen dari percakapan pertama kalian setelah ketemu lagi. Dan itu terbukti hari ini.

Ameta Riani, sahabat lama gue yang udah 3 tahun ini menghilang entah kemana sekarang duduk di hadapan gue dengan secangkir coklat panas di tangannya dan senyum canggung yang tidak hilang dari wajahnya sejak 10 menit yang lalu.

"Baik, lo gimana?"

Dia meletakkan gelasnya kemudian menganggukan kepala, "baik juga."

Gue benci banget ketika terjebak di situasi seperti ini. Situasi dimana obrolan rasanya sulit banget tercipta antara gue dan lawan bicara gue. Rasanya pengen pulang aja karena gak enak banget ada di posisi yang awkward kaya gini.

"Lo sekarang kuliah di Sanusi ya? Ambil jurusan apa?" tanyanya.

"Ilmu komunikasi."

Dia kembali menganggukan kepalanya, mungkin juga bingung harus memulai pembicaraan dari mana karena sama seperti gue yang gak siap dengan pertemuan ini, dia juga begitu.

Hari ini gue emang berencana untuk nongkrong di Cafe Serambi yang lokasinya ada di belakang kampus gue untuk ngerjain tugas. Namun secara gak terduga, gue bertemu dengan dia.

Penampilannya sangat berbeda dengan Ameta Riani yang selama ini gue kenal. Dari dulu dia memang cantik, namun Ameta saat SMA adalah perempuan yang jarang banget memperhatikan penampilannya. Dia gak pernah dandan, baju yang dia pakai juga selalu sederhana. Dahulu, hanya satu hal yang menarik di mata Ameta yaitu buku.

AccismusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang