10. A Shoulder to Cry On

60 9 0
                                    

Claire

Gue sedikit bingung kenapa percakapan singkat kita barusan membuat atmosfer perjalanan pulang gue dan Laskar menjadi kurang nyaman. Kita sama-sama diam sampai mobil Laskar tiba di depan rumah gue.

"Masuk dulu ya, mamah nyariin lo," ujar gue memecah keheningan diantara kita.

"Tante Denti bukannya lagi di Bandung?"

Gue mengangguk, nyokap gue memang pergi ke Bandung 3 hari yang lalu untuk mengurus bisnisnya yang baru saja buka cabang disana, "baru aja balik tadi malem."

Sebenarnya nyokap gue memang mau bertemu Laskar untuk memberikan oleh-oleh namun alasan utama gue menyuruh Laskar untuk singgah sejenak di sini karena gue ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang cukup penting dan mungkin gak ingin Laskar dengar.

"Ohh yaudah, ayo!"

Gue mengikuti langkah Laskar untuk turun dari mobil. Tatapan gue mengarah kepada Laskar yang kini sedang memandangi rumah yang berada persis disebelah gue, rumahnya.

"Kemarin gue ketemu nyokap lo, dia lagi nyiram tanaman di depan terus dia tiba-tiba panggil gue."

Masalah keluarga adalah pembahasan yang paling Laskar hindari di setiap percakapan kita. Dan hari ini gue terpaksa harus menyampaikan sesuatu yang Laskar tidak ingin bahas selama beberapa bulan terakhir.

Gue sudah menahan untuk tidak membahas ini di jalan karena kita sedang membahas hal lain dan gue tidak ingin Laskar tidak konsentrasi nyetir karena tiba-tiba gue ngomongin soal keluarganya. Jadi gue menunggu sampai kita tiba di rumah.

Seperti yang sudah gue duga... gue jelas bisa melihat bahwa Laskar cukup tidak berselera dengan percakapan kita kali ini. Pandangan Laskar yang tadinya fokus pada rumah itu beralih kepada gue. Namun ia tidak mengucapkan apa-apa, dia hanya diam di tempat menunggu gue lanjut berbicara.

"Dia nanya, lo lagi sibuk banget atau engga soalnya udah enam bulan ini lo gak pulang ke rumah."

Raut wajah Laskar berubah, yang tadinya datar kini ia tersenyum kecut, "setiap gue pulang mereka juga cuma diemin gue, terus buat apa?"

Hubungan Laskar dengan kedua orangnya memang kurang baik semenjak Laskar pindah ke apartemennya. Ralat, hubungan mereka menjadi sangat jauh ketika Laskar memilih untuk fokus berkarir bersama Savoir dan memutuskan untuk berhenti kuliah.

Dari dulu Tante Kinan dan Om Cakra gak pernah setuju dengan pilihan Laskar sebagai seorang musisi. Bahkan walaupun kini Laskar sangat sukses, kedua orang tuanya tetap tidak suka melihat Laskar bermusik. Dari dulu, mereka ingin anak mereka menjadi dokter dan menurut gue itu egois.

Gue gak suka Laskar diperlakukan seperti itu dengan kedua orang tuanya sendiri.

Seharusnya orang tua gak boleh menjadikan anak sebagai alat untuk mewujudkan ambisi mereka. Seharusnya orang tua tidak boleh mengambil alih kehidupan anaknya dan sepihak memutuskan apa yang terbaik untuk mereka.

Selama ini, gue juga ikut marah jika melihat Tante Kinan dan Om Cakra karena gue gak pernah melihat mereka mempedulikan Laskar, namun hari itu berbeda.

Dua hari lalu ketika gue hendak pergi ke minimart depan komplek dan melewati rumah Laskar, Tante Kinan tiba-tiba memanggil gue.

Gue cukup kaget melihat penampilannya saat itu. Tante Kinan biasa terlihat berwibawa, dia wanita yang punya aura kuat sehingga siapapun yang berhadapan dengannya akan sangat segan dengannya. Namun perempuan yang gue temui hari itu terlihat berbeda, dia terlihat lelah dan kusut.

"Dia bilang dia kangen lo, Kar."

Melihat senyum remehnya, gue tahu cowok itu akan bereaksi seperti apa.

AccismusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang