17. I Can't Kick You Out of My Head

63 3 1
                                    

A Restaurant , Jakarta Selatan —Pukul 19.45 WIB

Meskipun sudah lewat dari seminggu, momen ciuman itu tidak pernah hilang dari kepala Zeline. Entah kenapa otaknya selalu memutar ulang momen  dimana ia kehilangan kendali dirinya sendiri. Seharusnya biarkan itu berlalu, toh pria itu pun terlihat biasa saja. Seperti tidak pernah ada ciuman penuh hasrat di antara mereka. Atau.. jangan-jangan hanya ia sendiri yang merasa berlebihan seperti ini?

Saat ini mereka sedang makan malam, di salah satu restoran mewah yang terkenal dengan steak nya. Katanya Zavier sedang menginginkan steak sehingga beberapa menu sudah tersaji di meja makan mereka seperti Porterhouse steak for two, Rib Eye Steak medium well, dengan sauce Old Fashioned Sauce. Belum lagi side dishes yang pria itu pesan, mashed potatoes, creamed spinach dan cream of corn.

Zeline pikir pria itu habis kerja rodi, sehingga memesan menu sebanyak itu. Seperti biasa, meja makan mereka tidak akan dibiarkan hening begitu saja. Zavier pasti akan membuka 'ruang diskusi' versi dirinya untuk mereka berdua. "Jadi, kenapa kamu setuju untuk menikah sama aku, setelah berkali-kali menolak perjodohan?"

"Karena aku bisa berkompromi sama kamu. Aku sangat tau sepak terjang kamu sebenarnya, jadi aku tau kalau kamu pun nggak menyukai perjodohan yang orangtua kita rencanakan, tapi kamu nggak punya pilihan, sama seperti aku." Jawab Zeline sambil memasukkan potongan daging ke mulutnya. "Jatuh cinta itu merepotkan," wanita itu melanjutkan. "Bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi kalau cinta itu bertepuk sebelah tangan. Aku nggak mau mempersulit hidupku dengan masalah percintaan yang rumit. Kalau aku jatuh cinta sama kamu, aku akan sibuk cemburu, bertanya-tanya tentang setiap sikap yang kamu tunjukkan buat aku, aku akan merasa panik apakah udah waktunya kamu bosan dan pergi ninggalin aku. Maka dari itu, menikah dengan kompromi menurutku pilihan paling aman. Kita berdua nggak perlu mencemaskan apapun, karena baik kamu atau pun aku nggak mengharapkan apa pun dari satu sama lain. Kita bisa lebih... menoleransi keberadaan masing-masing."

"Kamu tau kalau nggak mustahil untuk kita merasakan sesuatu, kan?" Tukas Zavier. "Itu lumrah terjadi. Terutama bagi pria dan wanita yang tinggal satu rumah, setiap hari bersama dan terus menerus bertemu."

"Aku tau dan aku akan mencemaskannya nanti." Wanita itu menanggapi dengan nada tak acuh sambil memasukkan lagi mashed potato ke dalam mulut, lalu menjilat sauce di jari telunjuk— kebiasaan makan wanita itu yang terasa mengganggu bagi Zavier, karena gambaran itu membuatnya membayangkan adegan lain yang melibatkan bibir dan lidah.

Pria itu meneguk ludah.

"Zeline, aku rasa kamu harus mulai mikirin apa yang kita bicarakan dari sekarang. Karena sulit untuk nggak melibatkan perasaan kalau kita udah berbagi rahasia."

"Kenapa? Kamu udah jatuh cinta sama aku?" Wanita itu terkekeh.

"Aku nggak pernah jatuh cinta, jadi ya, aku takut jatuh cinta sama kamu," Zavier mengaku secara gamblang. "Karena aku nggak akan bisa mengenali tanda-tandanya, jadi aku nggak paham apa yang harus aku lakukan kalau tiba-tiba aku nggak bisa berhenti memikirkan kamu? Dan bagiku itu adalah masalah. Masalah besar. Karena, bahkan saat ini pun," dia menatap wanita itu lekat, "aku mulai nggak bisa menyingkirkan kamu dari kepalaku."

[***]

The Shivvinest Building , Jakarta Selatan

"Hai, Alden! Long time no see, ada meeting di sini?"

Pria yang dipanggil namanya berbalik dan tersenyum mendapati sahabat lamanya berdiri di belakangnya, Zeline.

"Hai, Zel! Kemana aja lo? Gue chat dan telepon tapi nomornya nggak aktif?"

Mereka memang belum bertemu lagi setelah terakhir bertemu di Singapore waktu itu. Alden Daneshwara sibuk bolak balik meninjau proyek pembangunan milik negara, sedangkan ruang lingkup kerja Zeline terbatas. Hanya sesekali ditugaskan untuk business trip.

Peeking Past FoliageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang