"Enjoy two different opportunities at the same time"
"Apa hari ini giliran kamu yang cerita?"
Zeline berbaring di atas pangkuan Zavier, menumpangkan kakinya ke dinding, dan mengambil posisi menyamping menghadap pemandangan di balik jendela kamar yang berembun. Pendingin ruangan sengaja dimatikan. Musim hujan telah tiba.
"Tanya aja."
Zeline berbalik, mendongak untuk menatap pria itu. "Ceritakan tentang keluarga," pintanya. "Apa kamu punya keluarga yang bahagia?"
Zavier memutar kepala wanita itu kembali ke arah sebelumnya. Godaannya terlalu besar, dan sangat amat rawan.
"Tergantung," jawabnya. "Habis lulus kuliah, aku jarang pulang ke rumah."
"Kenapa?"
"Ayahku orangnya cukup keras. Dari awal beliau sudah memperingatkanku kalau aku nggak bisa bergabung ke perusahaannya dengan cuma-cuma. Jadi aku mulai dari bawah. Apply CV, mengikuti rangkaian tes dan wawancara, lalu bekerja di divisi finance."
"Kamu nggak suka?"
Zavier menggeleng. "Aku nggak keberatan. Aku bahkan lebih suka kalau kayak gitu. Jadi aku bisa mengukur kemampuanku, dan aku pun punya kemampuan itu. Nggak masalah dari mana aku harus memulai."
"Apa orangtua kamu saling mencintai?" Zeline menggambarkan garis-garis abstrak di telapak tangan pria itu, yang entah sejak kapan Zeline mulai menggenggamnya.
"Ya. Sampai sekarang pun masih. Apapun yang terjadi, bunda jelas nggak akan menikah lagi."
"Apa bunda hancur waktu ayah kamu meninggal?"
"Aku nggak tau pasti. Mungkin di dalam iya, tapi beliau nggak menunjukannya. Kei, adikku, orang yang menangis paling kencang di pemakaman." Dia menjawab.
"Kenapa kamu yakin kalau bunda nggak akan menikah lagi? Mengingat beliau berteman dekat dengan mama?"
"Memangnya kenapa dengan mamamu?"
"Ya, kamu kan udah ketemu mama. Kamu liat kan kalau mama berusaha keras godain kamu, yang jelas-jelas tunangan anaknya."
"Aku kira mama kamu cuma bercanda."
"Oh, percayalah," ujar Zeline sinis, "mama emang bermaksud melakukannya. Nggak peduli kalau mama juga yang berusaha jodohin kamu sama aku." Zeline beranjak duduk, melipat kedua kakinya dengan posisi memeluk lutut. "Apa kamu tau kalau mamaku sudah tiga kali menikah? Dua suami dalam jangka 5 tahun."
Mata Zavier melebar. "Wow," gumamnya. "Jadi, ini yang buat kamu nggak begitu peduli tentang pernikahanmu sendiri? Kamu bahkan nggak peduli dengan siapa kamu menikah, kan?"
"Sedikit banyak itu mempengaruhi sudut pandangku tentang pernikahan."
"Oke. Maaf ya," pria itu tersenyum sungkan.
Saat itulah Zeline menyadari bahwa dia bisa berbagi apapun dengan pria itu. Pria itu tidak akan menghakiminya. Pria itu hanya akan mendengarkan dan setelah itu mengeluarkan kalimat-kalimat tak berperasaan seenaknya, seolah itu bukanlah masalah besar yang harus dipusingkan. Terkadang, menjadi seseorang yang menganggap ringan semua hal itu bisa membantu meringankan beban pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peeking Past Foliage
Romantizm[An Office Romantic, Heartfelt Story] Tidak pernah terbersit dalam benak Zeline sedikit pun untuk terikat dalam komitmen pernikahan-setidaknya dalam waktu dekat ini. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah kesuksesan karirnya sebagai Marketing Officer...