III. At a Crossroads

181 22 0
                                    

"Dia mabuk sekali, sampai-sampai tidak bisa terbangun." Guy yang sudah meninggalkan mabuknya tampak berbicara pada seseorang melalui telepon. Pandangannya terkunci pada mantan Hokage yang tengkurap di atas sofanya, tertidur.

"Ugh, aku tidak bisa menampungnya di sini. Yah, itu, em..." Guy menjeda, berpikir sejenak. "Besok pagi sekali Metal akan menginap di rumahku. Kau tahu, Lee tidak ingin putranya melihat pria (setelah) mabuk di pagi hari," bohongnya, asal-asalan.

"Maaf, tetapi bisakah kau mengantar Kakashi kembali ke apartemennya? Aku tahu ini sudah larut, tetapi kau tahu aku tidak bisa mengantarnya. Kakiku...."

Beberapa detik setelahnya, satu tangan Guy mengepal dengan semangat. Bibirnya menyunggingkan senyuman lebar.

"OK, terima kasih banyak. Hati-hatilah di jalan. Aku tunggu."

Guy memutus sambungan teleponnya. Dia tertawa penuh kemenangan. Mungkin Kakashi akan mengomel padanya besok. Namun, ia tidak peduli. Ada beberapa kondisi yang membuat Guy bisa menjadi sosok yang peka.

Jarum jam berputar. Sudah pukul setengah 11 malam. Guy masih berada di atas kursi roda, dia menikmati teh celup seduhannya untuk mengurangi pengar. Kakashi masih tidur di sofanya, sesekali meracau dengan kalimat asal yang tak ia mengerti.

Ketukan pintu memasuki indera pendengarannya. Guy menaruh cangkirnya, lantas membuat kursi rodanya bergerak menuju pintu depan. Dia membuka pintunya, tampil sosok wanita dengan raut cemas pada wajahnya yang cantik.

"Selamat malam, Guy-san,"

"Shizune! Selamat malam!" balasnya. "Maaf membuatmu repot malam-malam begini."

Shizune menggeleng kecil. "Di mana dia?"

Sebagai tuan rumah, Guy menuntun Shizune untuk semakin masuk ke dalam rumahnya. Wanita itu menghela napas ketika akhirnya dia menemukan seseorang yang perlu ia antar pulang—tertidur di sofa.

"Kakashi-sama," panggilnya. Ada nada kesal di sana. "Bangunlah. Kita pulang." Dia menepuk-nepuk pipi Kakashi, meminta pria itu meninggalkan tidurnya.

Setelah beberapa kali tepukan di pipi, secercah onyx mulai terlihat. Dua pasang iris mereka saling bertemu. Kakashi menatapnya lebih lama, mungkin untuk memproses apa yang terjadi saat ini. Selanjutnya, pria itu terbangun buru-buru. Suatu kejutan melihat wanita yang menjadi alasannya mabuk kini berada di dekatnya.

"Apa yang kau—ah!" Kakashi memegang kepalanya begitu dia bangun tiba-tiba. Tubuhnya sedikit sempoyongan, beruntung refleks Shizune dengan mantap menangkapnya.

"Berapa banyak yang Anda minum?!" Suara Shizune sedikit meninggi. Wanita itu mengamati sekitar, tetapi sama sekali tidak ada botol sake di manapun. Tentu saja, Guy membinasakan semua barang buktinya.

Kakashi melepaskan tangan Shizune dari lengannya. Sedikit kasar, sehingga ia menyesal setelahnya. Dia hendak melangkah untuk meninggalkan Shizune dan Guy—tiba-tiba saja dia kesal dengan alasan yang tidak jelas. Namun, belum sampai dua langkah, tubuhnya yang sempoyongkan mendapat tragedi yang menyakitkan (dan memalukan). Jari kelingkingnya terantuk kaki meja, membuat posisinya hampir tersungkur ke lantai. Beruntung, Shizune selalu setia di sisinya. Wanita itu kembali menahan lengannya agar pria bersurai perak itu tak semakin malu.

Dari kursinya, Guy menahan tawa. Seharusnya ia abadikan melalui rekaman video. Ekspresi Kakashi tadi benar-benar lucu.

"Karena itu saya sering bilang jangan minum terlalu banyak," tegas Shizune. Dia ikut kesal. "Dan Guy-san, tolong hentikan dia sebelum mabuk." Justru Guy lah yang membuat Kakashi sangat mabuk, Shizune.

"Aku pergi dulu, Guy."

Pria itu melangkah, meninggalkan Shizune. Dia sendiri juga bingung, kenapa dia kesal? Usianya sudah 40-an, sudah tidak pantas untuk bersikap seperti itu. Puber kedua? Entah apa artinya, tetapi dia tidak mengingat yang pertama, maksudnya terkait hubungan antara pria dan wanita.

Dari belakang, Shizune menyusulnya setelah berpamitan dengan Guy. Mereka keluar dari tempat tinggal Guy.

Keduanya berjalan bersisian, tanpa mengatakan apa-apa. Sama-sama memperhatikan jalan, sama-sama canggung dengan keadaan. Mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan dulu ketika Shizune memarahi Kakashi, pria itu menganggap santai dan malah menggodanya.

"Kenapa lurus? Apartemen Anda belok ke kiri," koreksi Shizune. Langkahnya berhenti di persimpangan jalan, sementara Kakashi terus melangkah menuju jalan yang salah.

"Apartemenmu lurus, tuh," ucap Kakashi, tak peduli apapun reaksi Shizune.

"Kakashi-sama," wanita itu berlari kecil, lalu menahan lengan Kakashi agar pria itu berhenti. "Jangan seperti ini."

Kakashi mengernyit. "Seperti apa?"

"Mengantar saya pulang,"

"Kenapa?"

Shizune diam. Dia melepaskan tangannya dari lengan Kakashi. Matanya tak berani untuk menatap Kakashi, jadi dia memilih untuk melihat jalanan yang sedang mereka pijak.

"Saya harus mulai terbiasa," lirihnya, sangat pelan, tetapi Kakashi tetap bisa mendengarnya.

"Terbiasa untuk apa?"

Murid Godaime Hokage itu menyiapkan keberaniannya. Lantas, kepalanya tak lagi tertunduk, iris kelamnya memaksa untuk bertemu Hatake satu-satunya yang tersisa.

"Pulang sendirian. Ke rumah. Kita... sudah tidak memiliki kepentingan apa-apa."

Bibir Kakashi terbuka, ingin menyangkal dengan sesuatu. Namun, otaknya tak kunjung merangkai kata.

"Kalau begitu kita berpisah di sini saja," putusnya secara sepihak.

Shizune merespons melalui bibir yang terbuka. "Apa?"

"Kau bilang ingin terbiasa pulang sendirian," Kakashi mengulanginya. "Kalau begitu, kita berpisah di sini. Aku ke kiri, kau lurus. Dengan begitu kita sama-sama pulang sendirian."

"Tetapi Anda sedang mabuk—"

"Dan harus terbiasa juga untuk tidak memarahiku saat mabuk, bukan? Kita sudah tidak memiliki kepentingan apa-apa."

Shizune tak bersuara. Kalau dia ingin terbiasa dengan keadaan yang sekarang, maka ia harus berhenti peduli pada Kakashi. Entah dia sanggup atau tidak.

Life After ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang