XXIV. Home

206 20 4
                                    

"Apa lagi? Kau harus meminta maaf dan membujuknya untuk pulang, lah!"

Malam itu, di hari ulang tahunnya, Kakashi mengajak Guy ke bar. Dia bukan orang yang terbuka, tetapi kali ini dia benar-benar sengsara. Berhari-hari Shizune meninggalkannya, dan kini hidupnya sunyi senyap seperti sedia kala.

Pria itu termenung, satu tangannya hanya memegang gelas sake tanpa meminumnya. Dia tidak terurus, padahal dulu dia terbiasa mengurus diri sendiri. Pandangannya kosong setelah menceritakan tragedi hidupnya pada Guru Alis Tebal.

"Aku tidak tahu dia di mana, Guy," ujarnya lirih, ada nada kesedihan di dalamnya.

Dari seberang meja yang memisahkan keduanya, Guy mendengus sebal. Sahabatnya, meskipun seorang Hokage, ternyata bisa juga menjadi orang bodoh.

"Kau bukannya tidak tahu, kau hanya tidak ingin mencari tahu keberadaannya," cibir Guy.

"Karena dia bilang ingin menjauh, jadi aku juga berusaha untuk menjauh. Aku takut kalau aku mencarinya, aku malah menyakitinya."

"Kau sudah menyakitinya," Guy bersuara tanpa peduli perasaan kawannya. "Karena itu jangan buat dia sakit untuk kedua kalinya. Minta maaflah," lanjut Guy dengan bijak.

Kakashi diam cukup lama. Dia lemah. Dia ingin berada di sisinya. Dia ingin memeluknya. Dia merindukannya.

Entah ada dorongan dari mana, Kakashi berdiri secara tiba-tiba. Tanpa berucap dan tanpa pamit, Kakashi menghilang dari pandangan Guy.

Kakashi adalah mantan ANBU dan shinobi setingkat Kage. Mencari seseorang adalah perkara mudah. Hingga akhirnya, pada malam yang sama, sosok Hatake itu berdiri di depan pintu kamar penginapan yang berada di pusat kota.

Tangannya mengudara, melayangkan ketukan pintu untuk diterima penghuninya.

Perlahan, dia merasakan chakra yang ia rindukan mendekat, bersama pintu yang dibuka lambat.

Shizune berada di hadapannya, dengan mata yang sembab dan hidung yang memerah.

Kakashi tidak kuasa untuk menahan kerinduannya. Sebab itu, kedua tangannya terbuka, lantas merengkuh Shizune seolah itu adalah pertemuan pertama mereka setelah ribuan tahun.

"Maafkan aku, Shizune," lirihnya, dengan suara serak dan nada penyesalan yang dalam.

Shizune tak menjawab, tetapi tangannya ikut bergerak membalas pelukannya. Dalam, erat. Terasa seperti wanita itu juga sedang memerlukan dekapan menenangkan.

"Maafkan aku, Shizune. Maafkan aku,"

Sekitar satu menit mereka berada di ambang pintu, tanpa peduli beberapa penghuni yang berlalu-lalang. Telinga Shizune terus mendengarkan permintaan maaf Kakashi yang berulang-ulang. Keduanya sama-sama kacau, tetapi batinnya yang lebih kacau, menyiksa segala-galanya.

Shizune membawanya masuk, membiarkan Kakashi duduk di tepi ranjang kamar hotelnya. Wanita itu pergi sebentar meninggalkannya, dia perlu ke kamar mandi untuk urusan satu dan dua hal.

Selagi di sana, Kakashi memperhatikan kamar penginapan Shizune. Rapi, tidak seperti dirinya yang berantakan. Kemudian pria itu menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya—berada di atas nakas di sisi ranjang yang lain. Kakinya melangkah mengikuti rasa penasarannya, lantas menemukan sesuatu yang tak terduga.

Tangannya meraih benda kecil-panjang yang menunjukkan dua garis berwarna merah yang sangat nyata. Di sebelahnya, terdapat sepasang sepatu bayi berwarna putih.

"Apa yang kau lakukan?!"

Tiba-tiba Shizune datang, entah sejak kapan. Dia merampas benda yang ada di tangan Kakashi, kemudian menyembunyikannya di belakang tubuhnya.

"Shizune, kau—"

"Tidak!"

Shizune mundur selangkah, sementara Kakashi maju selangkah.

"Aku tidak apa-apa, Shizune. Katakan saja."

"Aku tidak hamil."

Bagi Kakashi, Shizune bersikeras begitu karena dia tahu bahwa Kakashi tidak menyukai anak-anak. Sebab itu, Kakashi melembut, memberikan senyuman yang paling baik malam itu.

"Shizune, kau tahu, aku menyukai gagasan bahwa akan lahir bayi kecil di antara kita—anak kita. Lagipula kehadirannya bisa dijadikan hadiah ulang tahunku yang tak ternilai. Karena itu—"

"Aku tidak hamil! Itu positif palsu!"

Kakashi mengernyit, dia tidak mengerti.

Di hadapannya, Shizune menunduk. Tetesan air terlihat terjun dari wajahnya dan membasahi lantai.

"Bayinya tidak ada. Sejak awal memang tidak ada,"

Kakashi mendekat, memeluk Shizune dengan hati-hati. Dia masih tidak mengerti, tetapi setidaknya dia ingin ada di sana untuk menemani.

"Karena itu, tolong jangan buat aku kembali menginginkannya."

Tangisnya menggema di setiap sudut ruangan. Kesedihan, kekecewaan, kemarahan. Semuanya beradu menjadi keputusasaan.

Kakashi mendekap wanita itu. Memberinya kekuatan, memberinya ketenangan. Namun, belum sempat dia mengajaknya untuk kembali pulang, lagi-lagi dia menyakitinya berulang-ulang.

Life After ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang