Orang Ketiga

1.1K 63 19
                                    


"San, lo nggak apa-apa?" Napas Zaid terengah. Ia baru saja tiba di apartemen. Begitu membuka pintu kamar, ia melihat gadis yang ternyata memiliki nama, Sandrina Puspa itu terduduk ketakutan sambil memeluk lutut.

"Za ..." Seolah mendapat harapan, tangis gadis itu kembali pecah.

Zaid lekas menghampiri. Ia memeluk Sandrina yang kini sudah sesenggukan.

"Jangan takut. Ada gue di sini." Zaid menekan lembut bagian belakang kepala Sandrina ke dadanya.

"Gue takut banget, Za ..." Kedua tangan Sandrina memegeng erat baju Zaid.

Zaid hanya diam sambil terus mencoba menenangkan ketakutan yang mendekap Sandrina. Detik, menit pun berlalu melewati momen di antara dua sejoli yang saling memeluk di atas ranjang.

Setelah tangis Sandrina perlahan reda, Zaid melepas pelukannya. Kemudian tangannya menelusup ke wajah gadis itu, mengusap jejak kesedihan yang ada di sana.

"Lo udah check up hari ini?"

"Nggak ngaruh, Za. Gue tetap mimpi buruk. Setiap malam pikiran gue berisik! Gue capek banget sama trauma gue! Gue harus gimana coba? Kepala gue rasanya mau meledak!" Sandrina menjelaskan dengan frustrasi.

Zaid menghela napas. "Gimana kalau lo pulang ke rumah gue? Tinggal sama orang tua gue,"

"Gue nggak mau bikin Tante Fatimah repot, Za. Gue udah banyak banget ngerepotin lo dan keluarga lo,"

"Lo ngomong apa sih, San? Nyokap gue sama sekali nggak merasa repot lo tinggal di rumah. Nyokap malah senang kalau lo ada di dekatnya. Mau, ya?"

Sandrina menggeleng. Sejak kedua orang tuanya bercerai, dan mamah gadis itu meninggal secara tragis akibat pembunuhan, ia memilih untuk mengasingkan diri menjauh dari hal-hal yang mengingatkanya pada keluarga.

Sandrina memutuskan untuk menyewa apartemen selama 10 bulan ke depan. Setelah masa sewanya habis, ia tidak tahu harus ke mana. Tabungan yang ditinggalkan oleh almarhumah mamahnya sudah habis untuk membiayai kebutuhan hidup dan pembayaran sewa.

Hanya Zaid, harapan Sandrina satu-satunya saat ini. Meksipun ia tahu, jika pemuda yang selama ini selalu berada di sisinya itu sudah menikah.

"Gue nggak bisa, Za. Tante Fatimah selalu bikin gue ingat sama Nyokap, dan itu cuma bikin rasa bersalah gue makin besar!"

"Tapi itu bukan salah lo!"

"Gue nggak bisa, Za! Please jangan paksa gue ..." Sandrina kembali tergugu.

Zaid menghela napas. Ia menarik Sandrina untuk selanjutnya ia peluk seperti tadi. Mengusap-usap rambut hingga bahu gadis itu.

"Maafin gue, San."

"Jangan minta maaf, Za. Lo nggak punya salah apa-apa sama gue,"

Zaid diam. Ia dilema tidak tahu harus melakukan apa. Sandrina adalah sepupunya. Ibu gadis itu adalah adik mamahnya Zaid.

Zaid dan Sandrina memiliki hubungan yang dekat dari mereka kecil. Selain menjadi sepupu, mereka juga bersahabat. Apa pun tentang Zaid, Sandrina pasti tahu. Begitu juga sebaliknya. Mereka saling support dalam hal apa pun selama hasilnya baik.

Hebatnya, selama mereka bersahabat keduanya tidak terjebak friendzone. Keduanya akrab tanpa melibatkan perasaan. Namun, siapa yang tahu ke depannya bagaimana.

Bisa saja perasaan aneh tiba-tiba muncul karena usia mereka yang kian beranjak dewasa, ditambah lagi dengan seringnya mereka bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Bukakah cinta tumbuh lantaran karena seringnya bertemu?

"Za,"

"Hem?"

"Berita itu nggak bener, kan? Lo nggak pernah nyentuh cewek itu, kan?"

Hello, My Sunshine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang