Malam kian larut. Namun, mata Sena tak kunjung mau diajak bekerjasama untuk membawa pemiliknya berkelana ke alam mimpi. Saat ini ia dan Zaid sudah berada di kamar. Tidur satu ranjang dengan posisi Zaid yang terus memeluknya. Pemuda itu sudah terlelap sejak tadi.
Sena menghela napas di tengah air mata yang terus bergulir. Bayang-bayang kejadian tadi terus menari-nari dalam benak. Ia masih merasa kotor seakan kesuciannya telah direnggut habis. Posisi gadis itu memunggungi Zaid yang memeluknya dari belakang.
'Lupain, Sen. Ayo lupain!' Sena terus mendesak diri. Hatinya berteriak.
Sena kemudian merubah posisi jadi telentang. Menoleh pada Zaid, tatapannya terpaku. Berhenti pada ekpresi tenang pemuda itu tatkala sedang terlelap. Mengingat tindakan dan ucapan Zaid tadi, Sena tersenyum getir. Dibalik sikap menyebalkannya, ternyata ia peduli.
Sena bahkan tak menyangka, jika Zaid akan kembali pulang lantaran merasa khawatir padanya. Menatap lebih lama, Sena merasakan sesuatu berdesir di hatinya. Karena hal itu, lekas ia memalingkan wajah sambil mengatur detak jantungnya.
Ada apa? Kenapa perasaannya tiba-tiba aneh?
Pada detik berikutnya, ia dikejutkan dengan tindakan Zaid yang semakin erat merengkuh. Bahkan wajah pemuda itu berada di antara ceruk leher Sena. Dapat ia rasakan batang hidung dan hembusan napas Zaid menyapu sekitar kulit lehernya.
Sena menelan ludah berat. Ingin mendorong wajah Zaid agar menajauh, namun hatinya malah melarang. Pada saat itu muncullah konflik batin. Hingga akhirnya diputuskan, baiklah Sena akan membiarkan Zaid dengan posisinya saat ini.
***
Matahari bersinar cerah. Semilir angin pagi menyibak kain gorden yang daun jendelanya baru saja dibuka. Di dapur, Sena terlihat sibuk membuat sarapan.
"Assalamualaikum," ucap Zaid yang baru saja pulang dari masjid.
Pemuda dengan mata sayunya itu lalu merebahkan diri di kursi panjang ruang tamu. Ia masih mengantuk. Sehingga memutuskan untuk tidur barang beberapa menit.
"Wa'alaikumussalam!" Sena menyahut di tengah kegiatannya saat ini.
Usai membuat sarapan ala kadar berupa mie instan goreng, Sena kemudian memindahkannya ke piring lalu meletakkannya di meja makan. Dua gelas teh hangat menjadi pelengkap sarapan.
"Za! Zaid! Makan dulu, yuk!"
Tidak ada sahutan. Hal tersebut membuat Sena mengernyit bingung.
"Za? Zaid!" panggilnya lagi.
Sama seperti tadi. Masih tak ada sahutan dari si empu nama. Sena berdecak, dan terpaksa ia melangkah keluar dari dapur untuk memastikan suaminya.
Tiba di ruang tamu, Sena geleng-geleng kepala. Pantas saja dipanggil tidak dengar. Pemuda itu ternyata sudah kembali terlelap dengan posisi telentang dan lengan berada di atas kening.
"Za! Za bangun, Za! Zaid!" Sena menggerak-gerakkan lutut Zaid yang tertekuk ke atas.
"Hem? Apa sih?" Zaid menyahut tanpa membuka mata.
"Bangun ih! Udah pagi nggak boleh tidur lagi! Ayo bangun! Sarapan dulu! Gue udah masak tuh!"
Zaid perlahan membuka mata. Objek pertama yang masuk ke lensa matanya adalah wajah Sena. Ia kemudian tersenyum disela hela napas yang mengalir lepas dari kedua rongga hidung.
"Lo cantik juga ya, Sen, kalau dilihat dari bawah,"
Sena melongo dengan sudut bibir atas yang agar tersungging. Ada apa dengan Zaid? Tiba-tiba sekali ia berkata seperti itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Sunshine (END)
RomanceSenara Jihan, seorang gadis ceria yang memiliki banyak luka. Tak pernah menyangka akan menikah dengan sahabat sendiri lantaran dituduh telah berbuat zina di pos ronda. padahal saat itu, keduanya sedang terjebak hujan deras dan berteduh di sana. Pena...