Di sepanjang langkah menuju dapur, Sena merasakan tungkainya lemas dengan jantung yang terus berdegup tak karuan. Ada apa? Apa yang terjadi pada sahabatnya itu? Kenapa Zaid tiba-tiba mencium bibirnya?
Ah, beragam pertanyaan membuat benak gadis itu sangat berisik. Sambil memegangi dadanya yang berdebar-debar, Sena lalu duduk. Raut wajahnya masih tampak tegang dengan rona merah yang masih bertahan merekah di pipi.
"Maksud dia apa sih! Hais!" Sena lalu menjatuhkan kepala ke meja. Keningnya menempel di permukaan benda berbahan kaca tersebut.
Perlahan kepalanya bergerak, merubah posisi menjadi miring. Jemarinya lalu terulur, meraba bibir yang beberapa detik lalu menempel dengan bibir sahabatnya. Iya, SAHABAT!
Lama ia di dapur, pelan-pelan debaran yang mendesak dada itu pun menyusut tenang. Sena kembali menegakkan kepala untuk kemudian mengatur jalan pernapasan guna menstabilkan perasaannya.
Setelah itu ia bangkit, kemudian menyibukkan diri dengan beberes di dapur. Selesai mencuci piring, dan membereskan sisa makanan. Sena beranjak dari dapur, dan hendak menuju kamar. Ia ingin mengambil tas sebab ia harus pergi bekerja sekarang.
Tiba di depan kamar yang pintunya masih terbuka lebar, Sena menghentikan langkah. Ia menelan ludah berat seiring ingatan yang kembali menguar.
Menghembuskan napas sejenak, Sena memberanikan diri untuk melangkah masuk. Melihat ke dalam kamar, ia menemukan Zaid masih terbaring di sana dengan posisi memunggunginya. Selimut kembali menutup seluruh bagian tubuh pemuda itu.
"Za? Zaid," panggilnya.
Namun, tak terdengar sahutan dari si pemilik nama. Karena hal itu, Sena pun menghela napas lega. Sepertinya Zaid sudah tertidur. Setelahnya, Sena buru-buru mengambil tas dan kemudian bergegas keluar dari kamar.
Tapi sesaat melewati ambang pintu, tiba-tiba ia penasaran. Zaid tidur sungguhan atau pingsan? Panik dengan asumsinya sendiri, Sena lantas kembali hendak memastikan. Ia berjalan ke sisi ranjang, berdiri tepat di depan Zaid yang meringkuk.
"Za? Zaid,"
Masih tak ada sahutan. Hal tersebut membuat Sena jadi terpaksa mengguncang bahu Zaid sambil sesekali mengecek suhu badan pemuda itu dengan menempelkan punggung tangan di keningnya.
"Zaid! Za!" panggil Sena, panik, tatkala suhu badan Zaid tak menunjukkan tanda-tanda membaik. Malah demamnya semakin tinggi.
"Hem?" Zaid menyahut dengan suara berat tanpa membuka mata.
Kaget, Sena segera menarik tanganya dari badan pemuda itu.
"Lo ... yakin nggak mau ke rumah sakit?"
"He'eum."
"Panas lo makin tinggi, Za! Ayo, ke rumah sakit! Gue antar!"
"Nggak usah. Gue cuma butuh tidur aja beberapa jam, Sen. Lo udah mau berangkat kerja, ya?"
Sena menatap resah tanpa menjawab pertanyaan Zaid. Jika begini, gadis itu jadi tidak tenang meninggalkan Zaid seorang diri di rumah.
"Ya udah terserah lo, deh! Bandel banget dibilangin!" sungutnya, dan setelah itu berlalu dari sisi ranjang.
Zaid bergeming. Pemuda itu membuka mata ketika merasakan Sena tak lagi berada didekatnya. Ia kemudian tersenyum, dan kembali memejamkan mata.
Di luar kamar, Sena tampak gelisah. Ia tidak bisa bekerja jika seperti ini keadaannya. Meskipun tak ada cinta yang mendasari rumah tangganya dan Zaid, tapi tetap saja Sena khawatir.
Sena menghela napas panjang, dan setelah itu mengeluarkan ponsel. Ia terlihat ingin menghubungi seseorang.
"Halo, Mas. Hari ini saya boleh ambil cuti nggak? Ibu saya sakit, dan sekarang saya mau ke rumah sakit," ucapnya kala panggilan telah terhubung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Sunshine (END)
RomanceSenara Jihan, seorang gadis ceria yang memiliki banyak luka. Tak pernah menyangka akan menikah dengan sahabat sendiri lantaran dituduh telah berbuat zina di pos ronda. padahal saat itu, keduanya sedang terjebak hujan deras dan berteduh di sana. Pena...