prolog

2.1K 123 17
                                    


Jangan lupa vote dan komen sebagai bentuk dukungan mental buat authornya 🥲 eh, maksudnya buat dukungan authornya biar semangat 🥹

****

Pov Sena.

Aku menatap ponselku lama. Barisan kata yang seolah terdapat nyawa di dalamnya membuatku termenung lama.  Aku masih tak mengerti, apa tujuan pria itu menanyakan mahar sementara kini dia telah menikah dengan wanita lain. Wanita yang kulihat memang sangat pantas bersanding dengannya dibanding aku yang hanya seorang gadis biasa. Bukan Ning atau Ustadzah.

Aku menyeka air mataku yang hampir luruh. Lalu mendongak menatap langit sore yang tampak mendung. Dadaku terasa sempit dan sedikit nyeri. Belum lagi dengan kaki yang gemetar tiba-tiba kala ku ingat wajahnya tersenyum manis menyambut para tamu undangan.

Apa tujuan pria itu membuatku terbawa perasaan? Tidakkah ia mengerti seperti apa lemahnya perasaan wanita?

"Minum dulu."

Suara Zaid, teman saat di SMA membuatku tersadar. Ia menyodorkan sekotak susu coklat. Aku tersenyum getir. Kenapa harus susu kotak? Dia pikir aku anak-anak yang sedang merajuk kerena tidak mendapat mainan?

"Makasih, Za." Aku menerimanya, dan setelah itu ia duduk di sebelah ku dengan jarak setengah meter.

Aku memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah, setelah sebelumnya mendatangi undangan pernikahan dari Gus Zain. Iya, pria yang sudah lama membuatku jatuh hati, yang beberapa waktu terakhir menanyakan perihal mahar.

"Lo habis nangisin dia?"

"Nggak. Apaan!" bantah ku segera seraya memalingkan muka.

"Nangis aja kali. Gue juga pernah ada diposisi itu, dan itu nggak enak,"

Aku menghela napas. Zaid sama halnya dengan ku. Dia menyukai sahabatku, namun perasaannya malah tak terbalas dan berakhir ditinggal nikah. Ya, sama persis dengan yang aku rasakan saat ini.

"Lo dulu nangis?"

Zaid tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia diam seperti sedang berpikir.

"Nggak."

"Terus ngapa lo suruh gue nangis, kampret!"

Dia malah tersenyum. Menatap ku dengan sudut matanya yang seperti mencibir.

"Ya kali cowok nangis!"

Aku mendengus, dan memilih tak menanggapi ucapannya lagi. Tadi aku meminta Zaid untuk menjemput. Padahal saat pergi, aku bersama sahabatku dan suaminya. Namun, mereka malah memutuskan untuk pulang malam. Hal tak terduga yang membuatku mengomeli sahabatku panjang lebar.

Aku tidak mungkin ikut singgah di sana sampai malam. Memangnya siapa aku? Hanya orang asing yang kebetulan hadir lantaran aku berteman dengan keponakannya. Buat malu saja.

"Jadi, lo mau balik atau nggak? Gue ada janji sama teman-teman gue mau main futsal,"

"Bentar ngapa sih, Za. Kepala gue yang ada makin berisik kalau gue balik ke rumah sekarang,"

"Lah terus? Masa gue mau nemenin lo di sini sampai matahari terbit? Yang benar aja lo! Pacar bukan, istru juga bukan!"

Aku berdecak. Kenapa Zaid jadi mendadak cerewet begini? Bikin kesal saja.

"10 menit lagi, ya?"

Gantian Zaid yang berdecak. Ia menatap jam yang melingkari pergelangan tangannya dengan kening yang ikut berkerut.

"Kelamaan, Sen. Teman-teman gue pasti udah pada nunggu! Gue pesenin ojol aja ya? Ntar terserah lo deh mau minta dianterin ke mana,"

"Gue nggak mau naik ojol!"

"Lah, kenapa?"

"Kemarin gue lihat berita. Driver ojol nyulik pelanggannya terus diperkaos, Za! Gue takut digituin juga!"

Zaid bangkit dari duduknya. Ia menatap ku kesal sambil mengacak-acak rambutnya.

"Nggak akan ada yang mau nyentuh cewek tepos kayak lo, Sen! Lo banyakin berdoa aja udah!"

"Tepos-tepos gini gue tetap cewek, Za! Jahat bener bibir lo ngomong gitu! Pantesan ditolak sama Zeela lo!"

"Heh, nggak usah bawa-bawa masalah pribadi! Kalau cowok gue sikat lo!"

"Lo dulu yang gue garuk pake sikat wc!"

Zaid tampak frustrasi. Ia kembali duduk sambil mengecek ponselnya. Suara notifikasi pesan berulang kali berdenting masuk ke sana.

"Gue pesenin taksi aja gimana? Jangan bilang kalau lo takut diapa-apain juga!"

"Ya emang iya! Sekarang kejahatan itu bukan karena niat, Za. Tapi karena ada kesempatan!"

"Tapi gue beneran nggak bisa nungguin lo, Sena! Teman-teman gue udah pada stay di tempat futsal! Lo pikir gue asisten pribadi lo? Nyesel banget gue jemput! Ah, kampret!" Zaid mengomel lalu menendang udara.

Aku tidak peduli. Bagaimana pun dia harus tanggung jawab mengantar ku pulang sampai ke rumah, titik!

Lelah menggerutu, Zaid kembali duduk. Melihatnya begitu, pada akhirnya aku pun jadi tidak tega.

"Ya udah, yuk, anterin gue balik." Aku berkata sambil bangkit berdiri.

Zaid mendengus, menatapku tajam dengan bibirnya yang berkedut kesal.

"Dari tadi!" omelnya lagi yang langsung aku balas dengan sikap ku yang masa bodoh.

Namun sesaat kami akan berjalan menuju motor, hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras.

"Lha? Kok hujan? Ah, ya ampun! Ini semua gara-gara lo, Sen!" Zaid mengeluh. Segera ia pindahkan motornya ke samping pos ronda yang sedang kami duduki saat ini.

"Ngapa nyalahin gue? Yang nurunin hujan kan bukan gue!" Aku lekas membantah. Enak saja main tuduh.

Zaid kembali memicing tajam ke arahku. Bajunya sudah basah sebagian.

-tbc-

Otak Zaid be like :

Otak Zaid be like :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hello, My Sunshine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang