Terbuai

917 61 21
                                    


Sena memutuskan untuk menunggu di luar. Ia duduk di kursi tunggu yang letaknya tak jauh dari ruangan Zaid. Beberapa kali helaan napas panjang terurai berat dari rongga hidungnya. Entah karena apa, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya dan hal tersebut sangatlah tidak nyaman. Membuatnya resah tak menentu.

Tak lama, ponselnya berdering. Menatap layar, ia menemukan nama Zaid di sana. Sena pun mengangkat telepon dari suaminya.

"Ya?"

"Lo di mana? Cepetan ke sini,"

"Iya."

"Jangan di rumah sendirian. Bahaya. Gue nggak mau lo kenapa-napa lagi. Buruan ke rumah sakit dan temenin gue sampe pagi." Ucapan Zaid terdengar tegas.

"Tapi, kan udah Sendrina yang nemenin lo, Za."

Zaid yang berada di ruangannya lantas mengernyit seraya menatap ke pintu. Ia baru saja selesai makan, sementara Sandrina sedang bersiap-siap untuk pulang.

"Lo udah di rumah sakit? Sekarang lo ada di mana? Ke kamar gue sekarang!"

"Gue nggak enak sama Sandrina, Za. Gue balik aja, ya. Kayaknya keadaan rumah juga udah aman. Orang itu nggak mungkin berani buat gangguin gue lagi,"

"Sena, ke kamar gue sekarang!" Tampaknya Zaid tak memperdulikan ucapan Sena.

Tindakan Zaid, membuat perhatian Sandrina lantas teralihkan padanya. Ia menatap Zaid dengan sorot mata yang bingung.

"Kenapa sih, Za? Kalau dia nggak mau ya udah! Gue bisa kok gantiin!"

Hati Sena mencelos mendengar suara Sandrina yang turut nimbrung di dalam sambungan telepon. Ia mengigit bibirnya resah, sambil menatap ke arah ruangan Zaid.

"Nggak usah. Lo pulang aja, San. Udah kewajiban Sena buat ngurusin gue. Dia istri gue."

Sandrina menghela napas seraya memutar bola matanya malas. "Udah mulai naksir lo, kan?" Lalu berucap ketus, dan pergi setelah itu.

Sandrina sepertinya kesal. Ia menutup pintu agak kasar. Zaid menggeleng tak habis pikir. Turut bingung dengan dirinya sendiri.

"Ke kamar gue sekarang, Sen. Ini perintah." Usai berucap demikian, Zaid langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Ia tidak mau mendengar alasan lagi dari gadis itu.

Sena mengurai napas pelan seraya menatap ponselnya yang telah redup. Suara derap langkah di depannya, membuat Sena mengangkat pandangan. Ia agak terkejut, melihat Sandrina yang baru saja meninggalkan ruangan Zaid.

"Lain kali nggak usah ngedrama!" ketus Sandrina kala melewati Sena.

Sena mengangkat alisnya bingung. Kenapa tiba-tiba sekali Sandrina mengatakan hal yang tidak menyenangkan seperti itu. Apakah dia marah lantaran Zaid memintanya untuk pulang?

Ah, sudahlah. Sena tak mau ambil pusing. Toh, ia juga tidak merasa punya kesalahan pada Sandrina. Kemudian ia melanjutkan langkah, dan tak lama tiba di ruangan Zaid. Sena membuka pintu dengan perlahan.

Melihat ke dalam ruangan, tampak Zaid sedang menatapnya sambil melipat kedua tangan di dada. Pemuda itu sepertinya sedang menahan kesal.

"Kenapa nggak langsung masuk?" tanyanya tatkala Sena sudah masuk dan sedang berjalan ke arahnya.

"Gue nggak enak sama Sandrina, Za. Kenapa lo suruh dia pulang?"

"Ya apa gunanya lo jadi istri gue kalau perempuan lain yang ngejagain gue?"

Sena tak menyahut lagi. Ia kemudian meletakkan tas di atas nakas lalu duduk di kursi di samping brankar.

"Ya udah sih nggak usah ngegas. Lagian kita nikah cuma pura-pura,"

Hello, My Sunshine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang