Bab 24

450 36 1
                                    


Keluar dari ruangan, Zaid tidak sengaja berpas-pasan dengan Hamdan. Namun pria itu tampak cuek usai sekilas bersitatap dengan Zaid. Ia melewati pemuda itu tanpa ingin untuk bertanya.

"Mas, tunggu!" seru Zaid, yang seketika itu membuat langkah Hamdan terhenti.

Pria itu berbalik, lalu menatap Zaid penuh tanda tanya.

"Bisa bicara sebentar?"

Hamdan tak langsung mengiyakan. Ia terlebih dahulu menatap arloji di pergelangan tangannya, dan setelah memastikan sesuatu ia kemudian mengangguk. Menerima permintaan Zaid.

"Kita bicara di sana, ya." Zaid menunjuk lorong koridor menuju taman mini di ujung ruang rawat inap.

Hamdan mengangguk dan kemudian mengikuti Zaid ke tempat yang hendak mereka tuju. Di menit berikutnya, kedua lelaki itu sudah duduk di sana. Tepat di tempat duduk beton di bawah pohon yang berdaun rindang.

"Ada apa?" tanya Hamdan, dingin.

"Apa Mas masih mengharapkan Sena?"

"Kenapa kamu bertanya? Apa kamu berubah pikiran?" Pertanyaan itu terdengar sinis.

"Kalau Mas memang benar-benar mencintai Sena, buktikan."

Hamdan tertegun dan sontak menoleh pada Zaid. "Maksud kamu apa?"

Zaid tersenyum getir dan setelah itu beralih menatap Hamdan. "Rebut Sena dari saya sebelum perjanjian saya dan dia berakhir, Mas."

Hamdan mengernyit. "Kenapa saya harus melakukan itu? Kamu bisa langsung menalaknya kalau memang kamu sudah tidak menginginkan dia,"

Zaid mengalihkan pandangan ke depan. Tatapannya lurus. Bibir pucat itu menarik seutas senyum tipis. "Saya masih menginginkan dia, Mas. Masih sangat ingin. Tapi, keadaan kayaknya nggak berpihak baik sama saya. Sena mungkin bakal sedih terus kalau tahu penyakit saya. Jadi, sebelum dia tau dan semakin nggak bisa melepaskan saya, tolong rebut dia dan yakini kalau perasaan Mas buat dia lebih besar dari saya."

Hamdan tercenung. Ucapan Zaid membuatnya menangkap satu point. Membuatnya sadar bahwa Zaid dan Sena sudah terlibat perasaan. Pantas saja, Sena selalu menghindari pertemuan dengannya. Jarang membalas pesan dan mengangkat panggilan darinya.

Hamdan tersenyum menahan sakit pada perasaannya. Ia sudah menduga hal seperti ini pasti akan terjadi. Sebenci apa pun seorang wanita pada seorang pria, jika mereka terbiasa bertemu terlebih tinggal bersama, perasaan aneh pasti akan muncul. Fitrah yang tidak bisa ditolak.

"Apa yang harus saya lakukan?" Suara Hamdan melemah. Ia menunduk dengan netra memerah.

"Apa pun, yang membuat dia lebih bahagia  daripada bersama saya."

"Apa kamu akan menyerah secepat ini, Zaid?"

Setetes bulir hangat luruh dari pelupuk mata Zaid. Ia tertawa gamang seraya mengusap kedua sudut matanya. "Saya mau banget buat memperjuangkan Sena, Mas. Tapi keadaan saya menutupi kemungkinan itu. Saya diagnosis kanker lambung. Dan sekarang anemia saya semakin parah. Saya harus menjalani operasi dan terapi. Dan selama itu, saya nggak mau buat Sena susah. Kalau ada orang yang bisa membahagiakan dia, mencintai dia lebih dari saya, saya ihklas. Ihklas melepas dia buat Mas. Karena dari awal, seharusnya Mas yang ada di sisi dia bukan saya." Tangis pemuda itu akhirnya pecah tanpa suara.

Hanya isak tangisnya yang sesekali terdengar. Zaid menunduk, menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Hamdan jadi iba. Ia harus bagaimana sekarang.

"Tapi, gimana kalau setelah operasi dan terapi yang kamu jalani, kamu sembuh total? Kamu yakin nggak akan menyesal?"

"Saya pasti menyesal, tapi akan lebih saya sesali lagi kalau saya nggak selamat dan Sena terpuruk karena kepergian saya."

Hello, My Sunshine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang