Bab 16

1K 61 27
                                    


"Tapi, bisakah saya bertemu dengan teman kamu itu?" lanjut Hamdan, menatap Sena dengan serius.

Sena perlahan mengangguk. "Tapi, sekarang dia lagi sakit, Mas."

Hamdan mengangguk. "Saya akan menunggu. Atur saja jadwalnya nanti,"

"Iya."

Hamdan kemudian mengarahkan pandangan ke depan. Masih terpatri dalam benaknya ucapan Sena barusan. Masih tak menyangka jika gadis pujaan yang selama ini ia tunggu bertahun-tahun, malah sudah dinikahi oleh lelaki lain akibat salah paham.

Dadanya mulai terasa pengap. Meski Sena mengaku belum disentuh, namun Hamdan rasanya tetap tidak terima dengan pernikahan gadis itu.

"Senara,"

"Ya, Mas?"

"Apa kamu yakin nggak akan jatuh cinta sama teman kamu itu?" Hamdan bertanya seraya kembali menatap Sena.

"Apa Mas ragu?"

Hamdan menggeleng. "Saya hanya khawatir. Cinta itu bisa tumbuh jika sering bertemu, Sena. Kamu tahu, saya sudah lama menunggu kamu. Jadi, saya minta untuk tidak mengecewakan saya kali ini,"

Sena menghela napas pelan. Perasaan bersalah kian besar merengkuh dada.

"Maafin Sena ya, Mas."

"Nggak apa-apa. Tapi, apa saya boleh tau sesuatu?"

Sena mengangkat wajahnya yang tertunduk, lalu membawanya mengarah pada Hamdan yang masih lekat menatapnya.

"Apa, Mas?"

"Bagaimana perasaan kamu pada saya?"

Jantung Sena tersentak. Tatapannya terpaku, menatap lekat manik mata Hamdan yang tampak sayu. Sena meneguk ludahnya berat. Apa yang harus ia katakan sekarang? Jujur saja, Sena masih belum merasakan getaran aneh tatkala berdekatan dengan Hamdan. Iya, dia memang menyukai pria itu. Namun hanya sebatas rasa kagum dan tidak enak.

"Jujur saja. Saya nggak akan marah,"

Sena mengerjab. Kemudian memalingkan muka dari bidikan mata Hamdan.

"Sena ... Sena sayang sama Mas," ucap gadis itu akhirnya. Ia tidak mau membuat Hamdan kembali merasakan kekecewaan, sehingga Sena terpaksa membohongi pria itu.

Hamdan tersenyum. Bibirnya membentuk lengkungan lembut. Debaran halus perlahan menyapa jantungnya.

"Makasih ya. Saya lega mendengarnya,"

Sena tersenyum getir. Melihat bagaimana reaksi Hamdan, gadis itu jadi semakin merasa bersalah. Namun, Sena berjanji pada dirinya. Bahwa ia akan berusaha untuk sungguh-sungguh mencintai Hamdan.

***

Zaid membuka selimut dari atas pahanya, kemudian turun dari kasur. Langkahnya lunglai menapaki lantai yang terasa seperti balok es. Benda pipih yang tergeletak di meja sudut kamar terus berdering sejak tadi. Karena tak sanggup mendengar lagi, Zaid memutuskan untuk mengambil ponselnya.

Melihat nama pemanggil yang tertera di layar, Zaid menghela napas.

"Ya, San?" sahutnya begitu panggilan terhubung. Sambil menerima telepon, Zaid kembali berjalan ke kasur. Ia lalu duduk di tepian.

"Lo ke mana aja sih, Za. Gue chat nggak dibalas! Gue takut banget pas lo nggak ada! Kenapa lo tinggalin gue?" Terdengar isak tangis di seberang telepon.

"Sorry ya, San. Tadi malam Sena hampir diperkosa. Kalau seandainya gue nggak pulang, lo tau kan bakal kayak gimana nasibnya dia? Please, sesekali lo juga harus ngertiin gue. Sena istri gue, San. Dan selama pernikahan gue sama dia masih berjalan, Sena sepenuhnya adalah tanggung jawab gue. Dan sekarang, gue lagi sakit. Gue demam dan hari ini gue juga absen ngampus. Maafin gue, ya."

Hello, My Sunshine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang