"Zaid?" Sandrina terkejut melihat Zaid datang ke apartemennya sambil membawa koper."Gue tinggal di sini ya sampai beberapa hari," ucapnya, tak menggubris keterkejutan Sandrina.
Zaid langsung membawa langkahnya masuk ke unit sebelum Sandrina mempersilahkan. Ya, bukan hal baru yang harus dipermasalahkan. Biasanya pemuda itu juga langsung masuk tanpa menunggu izin dari si Empunya. Sandrina sendiri juga tidak mempermasalahkan. Ia kapan saja dengan senang hati menerima kedatangan sepupunya tersebut.
"Lo lagi ribut sama Sena?" tanya Sandrina, lalu menutup pintu.
Zaid menjatuhkan bokong ke sofa lalu menyandarkan bahunya di sana. Ia tampak lelah. Wajahnya pucat dan matanya sayu.
"Gue jadi pisah sama dia, San."
Sandrina mendelik. Lekas ia berjalan menghampiri Zaid, lalu duduk di samping pemuda itu menatap dengan pandangan tak percaya. "Maksud lo? Bukannya, waktu itu lo bilang lo mau nerusin rumah tangga lo sama Sena? Terus kenapa tiba-tiba gini?"
Meski Sandrina keberatan dengan keputusan Zaid kala itu, yang mengatakan tidak jadi bercerai dengan Sena setelah tiga bulan pernikahan mereka, tapi ia tetap menghargai keputusan sepupu sekaligus sahabatnya tersebut.
"Gue sakit, San."
Sandrina semakin mengernyit. "Sakit?"
Zaid mengusap wajahnya yang kini terlihat frustrasi. Ia kemudian menoleh, menatap Sandrina putus asa. "Gue diagnosis kanker lambung stadium tiga, dan gejala anemia aplastik."
Sandrina membelalak seakan-akan bola matanya hendak melompat keluar. Gadis itu langsung menutup mukanya yang menganga.
"Gue udah searching semua penyakit yang ada di badan gue, dan kemungkinan buat sembuh itu kecil banget, San."
Air mata Sandrina luruh bersama raut tegang di wajahnya. Kemudian ia bergeser, mendekat pada Zaid lalu memeluknya tanpa mengatakan apa pun, selain tangis yang perlahan-lahan mencuat.
Tangis Zaid ikut mengudara. Ia pasrah kala Sandrina menariknya ke dalam pelukan.
"Gue takut, San ..."
"It's okay, Za, it's okay. Lo masih punya gue. Kita hadapai bareng-bareng, ya." Suara Sandrina bergetar. Jantungnya bahkan berdegup kencang kala mendengar fakta, bahwa ada penyakit ganas yang diderita oleh Zaid.
***
Siang hari. Sena berada di kamarnya sedang menatap ponsel. Membaca ulang pesannya yang sudah di baca oleh Zaid, namun tak di balas oleh pemuda itu.
Anda
[Gue mau ketemu, Za. Jelasin semuanya kalau lo emang serius sama ucapan lo.]
Pesan terkirim dan masih centang satu. Sena menghela napas panjang. Dari semalam ia tidak bisa tidur lantaran terus memikirkan sikap Zaid yang tiba-tiba berubah. Kepalanya sampai pusing karena terus mencari kesalahannya yang mungkin menjadi sebab suaminya bertingkah aneh.
Namun, lama ia menyelami kejadian demi kejadian di dalam memori ingatannya, Sena tak juga menemukan kesalahan yang ia perbuat pada Zaid. Sebelumnya, hubungan mereka juga baik-baik saja bahkan lebih dari itu.
"Lo kenapa sih, Za? Maksud lo apa kayak gini ke gue?" Ia bermonolog di sela tangis yang kembali menguar.
Sungguh, dadanya pengap karena ia terus diliputi oleh kegundahan. Ia butuh Zaid sekarang. Ia ingin bertemu setidaknya sekali saja agar semuanya jelas dan ia tidak berat dalam mengambil keputusan. Sena ingin mendengar Zaid berkata seperti di telepon secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Sunshine (END)
عاطفيةSenara Jihan, seorang gadis ceria yang memiliki banyak luka. Tak pernah menyangka akan menikah dengan sahabat sendiri lantaran dituduh telah berbuat zina di pos ronda. padahal saat itu, keduanya sedang terjebak hujan deras dan berteduh di sana. Pena...