Bimbang

863 62 18
                                        


Ciuman itu semakin dalam membawa mereka berkelana. Mematahkan logika dan menumbuhkan hasrat yang selama ini terpendam. Zaid menarik bibirnya secara perlahan dari bibir Sena tatkala pasokan oksigen telah menipis. Keduanya saling menatap dalam perasaan yang sulit dijabarkan seperti apa rasanya.

Zaid tersenyum di tengah helaan napas yang sedikit terengah. Jemarinya lalu terulur, menyapu permukaan kulit di wajah Sena. Gadis yang masih duduk di pangkuannya itu, tampak menahan malu. Ia tersipu lantaran tindakan yang baru saja mereka lakukan.

"Gue boleh lihat rambut lo nggak?"

Logika Sena menolak, tapi hatinya malah mengizinkan. Ia tanpa pikir panjang kemudian mengangguk. Ternyata dorongan hatinya lebih keras dibanding kinerja otaknya. Jemari Zaid pindah ke bawah dagu, dan pelan-pelan ia membuka kain penutup itu dari kepala Sena.

Rambutnya tak lama terlihat. Zaid tertegun. Ia baru menyadari, ternyata Sena secantik ini.

"Jangan lihatin gue kayak gitu, Za." Sena menunduk seiring rona merah di pipinya.

Zaid tersenyum lalu mengangkat dagu Sena agar gadis itu kembali menghadapnya. "Kenapa? Gue cuma lagi mengagumi ciptaan Tuhan yang paling indah."

Darah Sena berdesir. Debar di balik dadanya kian menggila. Entah keadaan apa yang saat ini ia rasakan. Melihat Zaid sekarang, Sena tak menyangka akan berada di posisi seintim ini dengan teman sekolahnya sendiri. Siapa yang akan mengira, yang awalnya mereka hanya teman, lalu tiba-tiba menikah lantaran salah paham, dan sekarang malah berakhir dengan perasaan yang tumbuh tanpa disengaja.

"Lo cantik." Bersama ucapan itu, tangan Zaid menarik ikatan di rambut Sena.

Rambut gadis itu langsung tergerai dengan bebas. Membuat wajahnya kian dikagumi oleh Zaid. Tatapannya yang teduh kemudian memberi kode bahwa ia ingin kembali menyentuh Sena seperti tadi. Sena menunduk dengan bibir terkulum malu-malu.

Zaid tersenyum gemas, dan tak menunggu lagi ia kembali memagut bibir Sena. Mengecupnya dalam sambil memasuki celah bibir gadis itu dengan lidahnya. Di tengah tindakan tersebut, Zaid kemudian membawa Sena berbaring. Ia mengungkung menahan tubuhnya di atas badan istrinya.

Sena di bawah hanya pasrah. Mengikuti bagaimana nalurinya bekerja. Zaid yang sudah terpancing, tak kuasa mengendalikan syahwatnya agar berhenti. Ia dengan logika yang tak lagi bekerja, semakin ingin melakukan hal yang lebih dari sekedar penyatuan bibir.

"Za ..." Sena mendesah kala bibir Zaid turun ke lehernya.

Kecupan dan hisapan lembut yang dilakukan pemuda itu di sana, memberikan sensasi tak biasa bagi Sena. Sedikit demi sedikit, memantik hasratnya untuk ikut terpacu dalam permainan yang dilakukan suaminya saat ini.

"Gue nggak bisa berhenti, Sen." Zaid berbisik lembut ke telinga Sena, lalu mengecup cuping gadis itu.

Sena kembali mengeluarkan suara yang membuat Zaid semakin turn on. Dari telinga, bibirnya kemudian meraba kulit putih Sena hingga ke bagian leher. Bercak kemerahan tak lama muncul di sana.

"Zaid ..."

"Gue mau lo jadi milik gue, Sena." Zaid membuka kausnya, lalu menarik baju Sena.

"Za, tunggu!" Sena menahan kala bajunya nyaris terlepas dari badan.

"Kenapa?"

"Gue nggak bisa ngelakuin hal yang lebih jauh dari ini."

"Ikuti naluri lo, Sena."

Sena diam memandangi Zaid dengan hati yang resah. Dalam benaknya, tergambar jelas wajah Hamdan. Rasa bersalah kian besar melingkupi hatinya. Ia harus bagaimana sekarang? Disatu sisi ia menginginkan Zaid, namun disisi yang lain ia merasa tidak enak pada Hamdan. Sena terlalu banyak berhutang budi pada pria itu.

Hello, My Sunshine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang