semakin dalam

1K 60 17
                                    


"Tadi lo ngomong apa sama Emak?" tanya Sena ketika mereka telah pulang dari sana.

"Bukan apa-apa." Zaid tersenyum, menatap Sena dari kaca spion.

Motor yang dikendarai Zaid kini telah melaju di jalan raya. Rencananya, pemuda itu akan membawa Sena ke kafe yang selama ini menjadi sumber penghasilannya.

Sebelum mereka pulang tadi, Emak sempat memeluk Sena dan meminta maaf lantaran sempat percaya pada tuduhan warga. Karena Zaid, hubungan Sena dan Emak kembali terjalin hangat. Ya, meskipun gadis itu masih belum akur dengan Bapak. Bapak tadi juga tidak ada dirumah.

"Makasih ya, Za."

Zaid lagi-lagi hanya tersenyum, dan setelah itu menarik tangan Sena agar melingkari pinggangnya.

"Pegangan, ntar jatuh."

Sena tersenyum menahan tawa. "Bilang aja lo modus!"

Zaid tertawa tanpa suara. Ia tanpa sungkan lagi, kemudian menggenggam jemari Sena lalu mengecup punggung tangannya. Diperlakukan seperti itu, tentu membuat Sena luluh. Sehingga tanpa memperdulikan keadaan, ia yang duduk dengan menyamping menyandarkan kepalanya ke punggung Zaid, sementara kedua tangannya semakin erat berada di pinggang pemuda itu.

Layaknya ABG yang baru jadian, kedua sejoli itu tampak mesra menikmati perjalanan di sore ini.

Beberapa menit berlalu. Mereka tiba di halaman samping banguna kafe yang saat ini sedang ramai. Usai mesin motor padam, Sena pun turun lebih dulu. Baru tak lama disusul oleh Zaid.

"Yuk." Zaid mengajak sembari kembali menggandeng tangan Sena. Ia membawa istrinya tersebut masuk lewat pintu samping yang memang khusus untuk dirinya. Pintu yang akan langsung terhubung ke ruangan kerja pemuda itu.

Setelah membuka kunci, keduanya pun masuk.

"Ini ruang kerja gue, Sen. Selain ngurusin kafe, biasanya gue juga nugas di sini," jelasnya.

Sena mengangguk-angguk dengan tatapan berkeliling memperhatikan apa saja yang ada di sana.

"Duduk, Sayang."

Jantung Sena tersentak kala mendengar Zaid memanggilnya demikian. Gadis itu sejenak terpaku menatap Zaid yang tersenyum padanya.

"Apa sih, Za." Sena tersipu, lalu mendekati Zaid dan duduk di kursi yang diberikan oleh pemuda itu.

"Lo tunggu di sini, ya."

"Lo mau ke mana?"

"Sebentar." Usai mengusap singkat pucuk kepala Sena yang terbalut kerudung, Zaid kemudian keluar dari ruangan itu lewat pintu yang menghubungkan ke dalam cafe.

Sena memperhatikan dengan rasa penasaran. Tapi tak lama, Zaid kembali. Dia datang seorang diri sambil membawa sebotol mineral.

"Minum dulu." Lalu menyodorkan botol mineral tersebut pada istrinya.

"Lo keluar cuma mau ambil ini doang?" Sena bertanya seraya menerima.

Zaid menggeleng, dan tak lama setelah itu satu persatu karyawannya masuk ke ruangan. Sena terkejut lalu menatap Zaid yang mengangguk, memberi jawaban atas pertanyaan Sena tadi melalui kode.

"Gue manggil mereka,"

Sena bertanya dengan ekspresi wajahnya yang bingung.

"Sini, Sen." Zaid menarik lembut tangan Sena, membawanya untuk berdiri di samping.

"Ada apa, Bos?" tanya seorang laki-laki, yang mewakili lima karyawan Zaid yang lain.

"Semuanya, kenalin ini Senara istri gue."

Keenam karyawan Zaid sontak terkejut. Mereka pikir, gadis yang berada di ruangan Zaid adalah pacar pemuda itu. Mereka tak mengira jika ternyata Sena adalah istri dari bos mereka.

"Serius, Bos? Kapan nikahnya?"

"Udah lama. Kita nikah sederhana yang cuma dihadiri sama keluarga. Nggak usah repor-repot mikirin kado. Gue manggil kalian, cuma mau kalian tahu kalau perempuan cantik yang ada di samping gue ini juga bos kalian. Jadi, apa pun yang dia minta atau perintah apa pun yang dia ucapin, tolong hargai dan lakuin."

"Siap, Bos!" Keenam karyawan Zaid menyahut semangat. Mereka lalu menatap Sena sambil tersenyum ramah.

Sena di tempatnya tentu terkejut dengan ucapan yang baru saja ia dengar dari Zaid. Maksdunya apa berkata demikian? Bukankah ia juga akan jadi bagian dari karyawannya yang lain?

"Sena, kenalan ya sama mereka," ucapan Zaid, membuat Sena tersadar dari pikirannya. Gadis itu pun mengangguk.

"Assalamu'alaikum, semua. Salam kenal, ya. Semoga kita bisa jadi patner kerja yang saling support dalam segala hal."

"Wa'alaikumussalam, Bu Bos. Siap!"

"Kenalin, saya Zaki." Pemuda meletakkan satu telapak tangannya di dada, lalu disusul oleh yang lainnya.

"Saya Imran."

"Saya Sandi."

"Saya Arul."

"Saya Juned."

"Dan saya Septian."

Keenam karyawan Zaid yang semuanya adalah laki-laki masih terlihat muda. Mungkin usianya sekitar 18 tahun atau mungkin lebih muda dari itu.

"Sekarang kalian boleh keluar. Semangat!" seru Zaid pada keenam pemuda itu.

"Semangat!" Keenamnya menyambut antusias. Setelah itu, mereka pun beranjak keluar dari ruangan Zaid.

"Za, lo apaan sih?" Sena memprotes tindakan Zaid yang memutuskan tanpa kompromi dengannya terlebih dahulu.

"Mulai sekarang, lo yang akan gantiin gue ngurus kafe ini kalau gue lagi ngampus. Kerjaan lo nggak sulit kok. Cuma puyeng aja dikit," kekeh Zaid. "Sini, gue ajarin." Lalu menarik Sena ke meja kerjanya.

Sena berdiri di sisi meja, sementara Zaid berada di sampingnya namun tangan pemuda itu berada di antara pinggang ramping istrinya, tampak sedang memegang kursor dari komputer yang baru saja ia nyalakan.

"Ini data penjualan, data pemasukan, dan pengeluaran. Ini daftar bahan yang harus selalu ada di kafe ini. Tugas lo cuma ngecek terus infoin ke gue. Ntar soal pemesanan dan segala macam, biar gue yang urus." Zaid menjelaskan sambil memperlihatkan tabel di komputer.

Sena memperhatikan dengan seksama setiap tabel yang dipaparkan oleh Zaid.

"Pengeluaran buat kafe ini banyak juga ya, Za?"

"Lumayan. Tapi sebanding kok sama pemasukannya."

Sena mengangguk. Kini ia sudah memahami tugasnya. Zaid kemudian menoleh, menatap wajah Sena yang masih menatap layar monitor. Pemuda itu tersenyum dengan tatapannya yang teduh.

Sena yang belum sadar jika Zaid sedang memperhatikannya, terkejut kala sebuah kecupan mendarat hangat ke pipinya. Hal yang membuat gadis itu kemudian menoleh menatap Zaid yang kini sedang memandangnya dalam.

"Zaid!" protes Sena, yang tersipu.

Zaid yang selanjutnya gemas dengan gadis itu, kemudian mengangkat pinggang Sena dan mendudukkannya di meja. Sena terkejut sesaat tubuhnya terangkat lalu berpindah tempat. Kedua tangan Zaid bertumpu di sisi meja, mengungkung Sena.

"Gimana kalau sekarang, jangan panggil lo-gue lagi. Tapi aku-kamu," ucap Zaid seraya memandang lekat wajah istrinya.

Sena mengulum senyum dan mengangguk. Ia menundukkan pandangan kala merasa malu untuk membalas tatapam Zaid yang begitu dalam.

Zaid tersenyum lalu mengangkat dagu Sena. Tatapannya perlahan sayu seiring pupil mata yang tertuju ke bibir gadis itu. Tak meminta izin, wajahnya perlahan-lahan condong dan tak lama bibirnya kembali bertemu dengan bibir Sena yang sangat membuatnya candu.

Sena memejamkan mata sambil memindahkan kedua tangannya ke leher Zaid, kala bibir Zaid memasuki celah mulutnya. Sekarang ia mulai nyaman dan menerima setiap kali Zaid bermain di sana. Tidak ada rasa ragu meskipun sesekali wajah Hamdan terlintas di benak.

Secepatnya, gadis itu akan memberitahu Hamdan dan menyelesaikan apa seharusnya ia selesaikan.

-Tbc-

Hello, My Sunshine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang