Tidak Bisa Berhenti

1K 68 22
                                    

Bibir Zaid bergerak naik turun mengulum bibir Sena dengan lembut dan teratur. Ia tidak tahu kenapa bisa jadi seberani ini. Dalam tatapan yang terpejam itu, tiba-tiba wajah Hamdan terlintas di benak. Hal yang membuat kekesalan mendadak hadir hingga ciuman yang dilakukan jadi semakin intim.

Mengingat kedekatan Sena dengan Hamdan, Zaid seakan tidak rela. Malam ini, ia jadi menginginkan Sena seutuhnya. Ia tidak mau ada pria lain yang membersamai gadis itu selain dirinya. Ada apa? Bagaimana dengan kesepakatan mereka?

"Za!" Sena yang merasa ciuman itu terlalu memburu, kemudian mendorong dada Zaid. Membuat wajah mereka berjarak.

Zaid terengah-engah menatap sayu pada Sena yang berada di bawah kungkungannya.

"Gue ... gue mau lo jadi sepenuhnya milik gue, Sen."

Ucapan itu sontak membuat jantung Sena tersentak. Apakah dia tidak salah dengar?

"Za,"

"Gue tahu, tapi gue nggak bisa berhenti buat nyentuh lo,"

Sena dilema sekarang. Sejujurnya, ia pun mulai merasakan nyaman berada didekat Zaid. Ada perasaan aneh yang rasanya tak sama ketika ia berdekatan dengan Hamdan.

"Gimana sama perjanjian kita, Za?"

"Lo maunya gimana?"

Sena menundukkan pandangan seraya mengigit bibir, resah.

"Gue udah janji sama Mas Hamdan, Za. Maaf, gue—"

Belum habis ucapan Sena, Zaid lekas memotong dengan kembali mencakup bibir gadis itu. Sena terkejut, namun ia tak bisa menolak tindakan tersebut. Ia kembali memejamkan mata dengan air mata yang luruh dari sudutnya. Perasaan bersalah pada Hamdan membuat hatinya pilu.

"Gue rasa, gue mulai sayang sama lo, Sena." Zaid berbisik usai menarik bibirnya dari mulut Sena.

Sena tertegun. Seolah tersengat listrik, tubuhnya seketika lemas mendengar hal tersebut. Zaid kemudian pindah dari atas badan Sena, dan kembali ke posisinya di samping gadis itu. Tak menunggu jawaban istrinya, juga tak berharap ia akan memiliki perasaan yang sama, Zaid lantas memeluknya.

"Kalau gue sehat, gue mungkin nggak akan nahan diri gue lagi buat nyentuh lo, dan jadiin lo sepenuhnya milik gue, Sena."

Kondisi di balik dada Sena semakin tak beraturan. Entah apa maksudnya Zaid berucap demikian. Apakah dia sungguh-sungguh dengan ucapannya? Atau hanya efek dari sakit yang sedang dialami?

"Lo jangan aneh-aneh, Za. Tetap penuhi perjanjian kita," ucap Sena, lalu membuang muka ke samping. Menghindari tatapan Zaid di sisinya yang lain.

"Gue nggak janji, tapi gue usahain buat nahan diri."

Sena mengurai napas pelan. Degup yang menggila di balik dadanya berangsur-angsur reda. Setelah itu hening. Tak terdengar Zaid mengatakan apa pun lagi. Sena hanya merasakan hembusan napas pemuda itu, yang hangat membelai pipinya.

Dalam kesunyian malam yang kian larut, Sena masih terjebak dengan perasaannya. Dia masih tak mengerti dengan apa yang barusan terjadi di antara dirinya dan Zaid. Ciuman yang mereka lakukan secara sadar mengalir begitu intim. Saling menikmati padahal sebelumnya terasa begitu asing.

'Kenapa nggak gue tolak? Nggak mungkin kan gue juga mulai suka sama Zaid? Jangan, gue nggak mau ngecewain Mas Hamdan lagi. Gue harus kubur perasaan ini dan tegas sama Zaid!' Batin Sena bertekad.

***

Seminggu berlalu. Zaid pun sudah diizinkan pulang. Namun dalam waktu dekat, Zaid dilarang untuk melakukan hal yang membuat otaknya berpikir keras. Ia masih diminta untuk tetap memperbanyak istirahat ketika di rumah nanti.

Hello, My Sunshine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang