Dua hari berlalu dan Zaid masih belum menemui Sena. Selama itu, ia tidak pergi ke kafe. Sena terus mengurung diri di kamar. Setelah hari di mana ia berdebat dengan Zaid, hari-harinya jadi terpuruk.Siang ini, Sena memutuskan untuk kembali ke kontrakan. Ia akan mengambil semua pakaiannya yang masih tertinggal di sana. Melewati beberapa menit perjalanan menggunakan ojek online, Sena pun tiba di kontrakan.
Perasaan sedih kembali hinggap kala kakinya menyentuh pelataran teras. Mengambil kunci cadangan dari dalam tas, ia membuka pintu. Melangkah ke dalam, dadanya kian sesak dan air mata berlomba-lomba menyembul dari pelupuk mata.
Sena langsung menuju kamar. Masuk ke sana, ia melihat keadaan ranjang dalam keadaan rapi. Ternyata Zaid benar-benar tidak pulang. Membuka lemari, Sena dikejutkan dengan bagian Zaid yang telah kosong. Tidak ada satu pun baju pemuda itu yang tertinggal di sana.
Hal yang membuat perasaan gadis itu kian mencelos.
"Kenapa gue bisa sebodoh ini?" Sena tertawa getir seraya mengusap mata.
Ia mulai membereskan pakaiannya satu persatu. Memasukkannya ke dalam tas yang ia ambil dari atas lemari.
"Sena,"
Sena yang terisak lantas terkejut. Ia dengan air mata yang belum sempat diusap kemudian menoleh. Mendongak menatap pemuda tinggi di ambang pintu.
Jantungnya tersentak kala melihat Zaid di sana.
"Sayang,"
Tapi kemudian, perasaannya kembali diterpa badai kala Sandrina muncul dan langsung merangkul lengan Zaid dengan mesra.
Sena lekas membuang muka sambil mengusap mata. Gadis itu jadi mempercepat pergerakannya. Ia memasukkan asal bajunya ke dalam tas tanpa disusun seperti tadi. Setelah selesai, ia segera bangkit dan hendak berlalu dari dua orang yang berdiri di depan pintu masuk tanpa ingin mengatakan apa pun.
Namun tatkala melewati Zaid, lengan Sena ditahan oleh pemuda itu.
"Tunggu sebentar. Gue mau ngomong,"
Sena yang sudah sesenggukan tak mampu mengendalikan diri untuk tenang. Perasaannya benar-benar terluka.
"Lepasin!" Ia lalu menarik lengannya dari genggaman Zaid.
"Lo mau gue talak secara langsung, kan?"
Ucapan itu membuat pergerakan Sena perlahan luluh. Benar, kata-kata itu yang ia tunggu dari Zaid. Sena menghela napas panjang guna membuang sesak yang benar-benar membekap. Masih dengan sesenggukan, ia beralih menatap Zaid.
Zaid tercenung. Melihat wajah Sena, kerinduan kembali memberontak. Sekuat tenaga ia menahan perasaannya agar tak sendu. Sekuat mungkin ia mempertahankan raut wajahnya agar tetap terlihat datar.
'Gue kangen banget sama lo, Sena.' Kata-kata itu hanya mampu ia ucapkan di dalam hati.
"Ayo, ngomong," tuntut Sena.
Zaid mengangguk. Sandrina yang berdiri pemuda itu tampak sendu. Beruntung ada kacamata hitam yang menutupi netranya sehingga Sena tidak mengetahui kebohongan yang tersemat di sana.
"Senara Jihan, hari ini aku menalakmu. Mulai detik ini, kamu bukan lagi isteriku."
Kian remuk perasaan Sena. Air matanya kembali banjir. Gadis itu lalu mengangguk dan beranjak dari hadapan Zaid tanpa mengatakan apa pun.
Sepeninggal Sena, air mata yang Zaid tahan mati-matian akhirnya luruh. Bibirnya bergetar menahan suaranya agar tak mengudara.
Sambil membawa langkahnya meninggalkan kontrakan, di sepanjang itu air matanya tak bisa dihentikan. Terus mengalir meski berulang kali Sena mengusapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Sunshine (END)
RomansaSenara Jihan, seorang gadis ceria yang memiliki banyak luka. Tak pernah menyangka akan menikah dengan sahabat sendiri lantaran dituduh telah berbuat zina di pos ronda. padahal saat itu, keduanya sedang terjebak hujan deras dan berteduh di sana. Pena...