"Za, gue balik dulu, ya. Ntar habis maghrib gue balik lagi," ucap Sena. Usai berganti baju, gadis itu kini sudah kembali ke ruang rawat Zaid.Bukannya fokus pada ucapan Sena, pandangan Zaid malah menelisik pakaian yang dikenakan istrinya. Tampak tak asing, namun ia lupa siapa orang yang pernah memakai kemeja yang sama seperti itu.
"Lo ... pake baju siapa, Sen? Perasaan, tadi lo nggak pakai baju ini?" Zaid mengangkat pandangannya pada Sena yang berdiri di sisi brankar.
Sena tertegun, dan ia lekas menatap dirinya. Menatap pakaian yang melekat di tubuhnya.
"Oh, ini bajunya Mas Hamdan. Baju gue kotor kena kopi,"
"Kok bisa?"
"Ya bisa. Tadi itu, ada orang yang nggak sengaja nyenggol gue dan kebetulan dia lagi bawa kopi. Terus tumpah ke baju gue, deh." Sena dengan santai menjelaskan apa yang terjadi secara sederhana.
Zaid diam dan ia hanya mengangguk. "Lo jelek banget pake baju itu. Buruan pulang sana terus langsung ganti!" Pemuda itu berbicara ketus. Mendadak sikapnya jadi garang. Seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya.
Sena mengernyit dan kembali menatap diri. "Iya, sih. Kebesaran ya sama gue," sahutnya polos.
Zaid menghela napas dan setelah itu meletakkan lengan di atas matanya yang terkatup. Ada yang panas tapi bukan api.
"Lo pulang naik apa?" tanya Zaid lagi tanpa merubah posisi.
"Diantar sama Mas Hamdan,"
Lagi-lagi Hamdan. Entah mengapa Zaid jadi sangat muak mendengar Sena menyebut nama pria itu. Seperti ada ganjalan yang menghimpit dadanya. Sesak dan pengap.
"Sena,"
Panggilan dari ambang pintu, membuat Sena lekas mengalihkan pandangan dari Zaid. Pemuda yang tanpa perlu melirik siapa orang yang baru saja datang, karena dia sudah tahu. Suara Hamdan dengan mudah langsung akrab dengan indera pendengarannya.
"Iya, Mas. Za, gue balik dulu, ya. Ntar gue balik lagi, kok. Bye!" Sena lekas beranjak. Meninggalkan Zaid dan menghampiri Hamdan yang seolah hendak menyambut dengan pelukan.
Zaid mengangkat sedikit lengan dari atas mata untuk melirik ke pintu. Melihat dua manusia yang saling bertukar senyum di sana, membuatnya benar-benar kesal. Tak ingin semakin melukai diri, Zaid memilih berbalik memunggungi pintu.
'Sial! Kenapa gue jadi kesal banget gini sih! Rasanya pengen teriak gue di depan mereka. Aaghrr!' batinnya mengerang marah.
Dasar aneh! Apa kamu akan menjilat liur mu sendiri, Zaid?
***
Beberapa menit berlalu. Tepat saat azan magrib berkumandang. Sena baru saja tiba di depan kontrakan. Ia lekas turun dari mobil, sesaat Hamdan menepikannya di depan pagar.
"Mas makasih banyak ya buat hari ini. Makasih karena udah nolongin Sena bawa Zaid ke rumah sakit. Pokoknya makasih ... banget!"
Hamdan tersenyum mendengar ucapan Sena yang terasa lucu masuk ke telinganya. Pria itu lalu mengangguk.
"Sama-sama. Nanti kamu balik?"
"Iya, Mas. Nggak mungkin saya tinggal. Kasihan,"
Hamdan kembali mengangguk. Ingin sekali ia melarang, tapi apa haknya?
"Nginep?"
"Kemungkinan iya, Mas. Kan cape kalau harus bolak-balik." Sena nyengir. Sebenarnya ia gugup, takut membuat Hamdan salah paham.
"Ya sudah. Kita ketemu besok pagi, ya. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati ya, Mas."
Hamdan tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, ia kembali membawa laju mobilnya meninggalkan area rumah. Sena masih berdiri di depan pagar. Mengantar kepergian Hamdan. Bunyi klakson menjadi akhir pertemuan mereka senja itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Sunshine (END)
RomantizmSenara Jihan, seorang gadis ceria yang memiliki banyak luka. Tak pernah menyangka akan menikah dengan sahabat sendiri lantaran dituduh telah berbuat zina di pos ronda. padahal saat itu, keduanya sedang terjebak hujan deras dan berteduh di sana. Pena...