"Biar kubantu."
"Tidak perlu, Manu. Kau ke kamar saja dan ambil ranselmu, lalu bersiap di luar."
"Baiklah."
Nick meletakkan kembali piring bekas sarapan, membiarkan Janu mengambil satu per satu alat makan itu dan membawanya ke bak cuci. Sejenak, Nick memperhatikan Janu yang mulai mencuci piring sebelum ia akhirnya beranjak menuju kamar.
"Kurasa, sudah lengkap," gumam Nick seraya memeriksa isi ranselnya. Ia sudah mendapati empat buku catatan, empat handbook, serta perlengkapan tulisnya. Nick segera menutup kembali ransel cokelat tua itu dan menggantungnya di sebelah lengan. Nick lantas beranjak keluar dari kamar.
Teras depan rumah adalah tujuannya. Nick segera duduk pada salah satu kursi, menunggu Janu sembari menatap motor matic milik pemuda itu.
Sekolah tempat Manu belajar, yang otomatis juga akan menjadi tempat belajar Nick, tidaklah jauh. Janu sempat menceritakan bahwa biasanya Manu pergi ke sekolah dengan sepeda, untuk menghindari macet. Namun, untuk beberapa hari ke depan, Janu akan mengantarnya dengan alasan bahwa sang adik masih dalam proses pemulihan.
Tidak sampai sepuluh menit menunggu, Janu akhirnya keluar. Pemuda itu sudah mengenakan jaket, lengkap dengan helm di kepalanya. Janu melempar senyum sesaat sebelum ia mengunci pintu rumah.
"Ayo!" seru Janu, lantas ia mendekati motor dan menuntunnya keluar dari halaman rumah.
Nick berdiri dan meraih helm dari atas meja. Ia mengenakan pelindung kepala itu dan menyusul Janu yang sudah duduk di atas motor. Kemudian, Nick turut duduk di belakang pemuda itu.
"Sudah?"
"Sudah!"
Janu segera menarik gas usai mendengar balasan Nick. Motor melaju dengan kecepatan sedang di sepanjang lingkungan perumahan. Nick bisa melihat beberapa motor, juga mobil yang melintas, membawa sang pengemudi dan penumpang untuk menjalankan aktivitas di awal pekan ini, entah sekolah, kuliah, atau bekerja. Beberapa dari mereka sempat menyapa Janu, juga Nick sebagai Manu. Beberapa lagi hanya membunyikan klakson sebagai bentuk sapaan.
"Pagi, Pak!" seru Janu saat melewati seorang satpam yang tengah duduk di depan pos dekat gerbang perumahan, menikmati kopi yang terlihat masih mengepul.
Satpam itu hanya membalas sapaan Janu dengan senyuman dan acungan jempol, sebab mulutnya tampak masih sibuk mencecap rasa kopi yang baru saja ia telan. Setelahnya, Nick bisa merasa bahwa Janu menambah kecepatan laju motor. Tidak butuh waktu lama, kendaraan roda dua ini pun segera membelah padatnya lalu-lintas ibu kota. Janu dengan lincah mengendarai motor, mendahului mobil-mobil yang berjajar, dan menyalip motor-motor yang melaju pelan. Beberapa kali Janu berhenti, bersama pengendara lain, tatkala lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Begitu seterusnya, hingga motor Janu memasuki area gedung sebuah sekolah.
Sekolah Manu.
"Sampai!" seru Janu sambil mematikan gas.
Nick turun. Ia berdiri menatap gerbang masuk sekolah menengah atas negeri ini. Beberapa siswa tampak memasuki gerbang, lalu mereka tersenyum, bahkan tertawa kecil saat mendapat sambutan hangat dari satpam.
"Apa aku perlu menemanimu ke dalam?" tanya Janu, berusaha memahami sang adik yang masih harus melakukan penyesuaian.
"Tidak perlu," balas Nick. Ia berbalik menghadap Janu.
"Baiklah. Aku akan menjemputmu di waktu pulang, jam dua siang," ujar Janu.
"Bukankah kau harus bekerja? Aku bisa naik bus sendiri, aku tidak ingin merepotkanmu," balas Nick.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWITCH BUTTON [Selesai]
HorrorJika seseorang ingin tahu rasanya mati, maka tanyakan saja pada Nick. Remaja itu bahkan tidak menyangka bahwa mati tidaklah seburuk yang ia bayangkan. Namun, dalam hitungan detik, ia baru menyadari bahwa kenyataan yang harus dihadapi setelah ia bang...