Bab 4: A Nightmare

27 8 0
                                    

Kegelapan.

Itulah yang Nick dapati sesaat setelah ia membuka mata. Mengingat sesuatu, ia tiba-tiba saja meraba tubuh dan berakhir di wajahnya.

Tidak ada kain apa pun.

Kemudian, Nick meraba sekitarnya, terasa lembut dan halus.

Nick seperti merasa deja vu.

Akan tetapi, remaja itu bisa menghela napas lega ketika ia yakin bahwa dirinya sedang berada di kamar Manu.

Bukan di kamar mayat.

Nick bangkit dari posisi tidurnya. Ia turun dari tempat tidur, lalu berjalan di tengah kegelapan. Kedua tangannya terulur ke depan. Begitu ia menyentuh lemari, Nick bergerak ke kiri. Tangannya kini menyentuh tembok, terus bergerak mencari keberadaan saklar lampu.

Tidak lama, kamar ini pun seketika menjadi terang begitu Nick mendapati saklar dan menekannya.

Entah pukul berapa saat ini, tetapi kamar yang semula gelap gulita cukup menunjukkan bahwa hari sudah gelap di luar sana. Nick berdiri di tempat, tidak tahu harus berbuat apa, dan tidak tahu mengapa ia tiba-tiba terbangun.

Nick bahkan tidak tahu sejak kapan ia tertidur.

Cukup lama Nick berdiri di tempat, memandang kamar Manu dengan pikiran kosong. Kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering berhasil mengalihkan perhatian Nick. Remaja itu lantas bergerak mendekati pintu, berniat keluar demi segelas air.

Rumah kedua Wilis bersaudara tidak begitu besar, memudahkan Nick untuk mengetahui bagian-bagian ruangan di rumah ini, meski baru pertama kali ia berada di sini. Di tengah kegelapan, kakinya secara otomatis bergerak menuju dapur.

Nick tidak tahu di mana letak saklar lampu dapur. Lantas, ia menajamkan penglihatannya. Nick terus berjalan, menerka-nerka. Instingnya mengarahkan Nick pada kabinet, tempat gelas maupun piring tersimpan. Nick perlahan membuka salah satu pintu lemari pada kabinet, tetapi sebuah suara yang tiba-tiba terdengar lantas membuat Nick kembali menutupnya.

Nick lantas berbalik. Jantungnya mulai berdegup tidak karuan begitu ia menyadari bahwa ada seseorang di tengah kegelapan sana, beberapa meter di hadapannya. Namun, sepasang penglihatannya berada di titik buta saat ini. Nick perlahan bergerak menyamping, bersikap waspada.

Tiba-tiba, ruangan menjadi terang.

Nick sontak memekik.

"Hey, Manu! Ini aku, ini aku!"

Nick seketika terdiam.

Itu Janu.

Benar, Janu. Memang Nick kira siapa lagi? Ia hanya tinggal bersama Janu.

"Kau sedang apa, Manu?" sambung Janu, bertanya sembari berjalan mendekati Nick.

"A-aku, aku haus. Aku ingin minum," jawab Nick, terbata.

"Oh," sahut Janu. "Apa kau juga lapar?"

Nick sontak saja mengangguk. Lagipula, sepertinya ia memang belum makan entah sejak berapa lama. Nick bahkan tidak mengingat jam berapa ia mulai tertidur. Namun, satu hal yang pasti, perut kosongnya telah membuat Nick mengiyakan pertanyaan Janu.

Janu tersenyum kecil. "Aku juga terbangun sebab lapar. Aku berpikir untuk membuat mie instan. Kalau begitu, aku juga akan membuatkan satu untukmu."

Nick tidak menjawab dan Janu menganggapnya sebagai persetujuan. Janu segera meraih dua bungkus mie instan dari kabinet atas. Kemudian, ia meraih panci kosong pada meja kabinet, seperti bekas terpakai sebelumnya. Janu lantas mengisi panci dengan air melalui kran pada sink.

SWITCH BUTTON [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang