Pandangan Nick seketika berada dalam titik buta begitu lampu tiba-tiba mati total. Nick merasa panik, tetapi entah mengapa waktu terasa melambat, membuat reflek tubuhnya turut melambat. Nick bisa mendengar laju napasnya sendiri yang tidak beraturan. Sampai satu detik berikutnya, Nick menangkap suara lain.
Langkah kaki seseorang.
Detik itu juga, waktu terasa kembali berjalan normal. Nick dengan cepat berbalik, mengulurkan tangan pada dinding di sebelah kirinya, berniat untuk meraih saklar lampu, dan menyalakannya.
Berhasil. Ruangan kembali terang.
Namun, setelahnya, lampu kembali berkedip-kedip.
Nick segera meraih knop pintu, membukanya dengan cepat, dan mendapati kegelapan di luar sana. Nick tidak tahu telah berapa lama waktu yang ia habiskan hanya untuk merenung di kamar Mia, sampai-sampai tidak ada lagi cahaya matahari yang menerangi rumahnya. Tidak ingin berpikir lebih lama lagi, Nick segera keluar dan menutup rapat-rapat pintu kamar Mia. Setelah itu, Nick berjalan cepat, mencari keberadaan saklar lampu. Remaja itu berniat untuk menghidupkan seluruh penerangan di rumah ini secepat mungkin. Namun, kepanikan yang melanda dirinya membuat pergerakan Nick terasa lambat. Ia bahkan beberapa kali terdistraksi oleh rasa paniknya, membuatnya tersandung, atau berjalan ke arah yang tidak semestinya.
Tenang, tenang, kau pasti bisa, Nick. Kau pasti bisa!
Berkali-kali, Nick menenangkan dirinya sendiri. Ia hanya perlu menyalakan seluruh penerangan, lalu segera masuk ke kamar Manu, satu-satunya ruangan yang paling aman baginya. Setelah itu, Nick akan mengunci pintu, mengurung dirinya di sana sampai pagi.
Semua akan baik-baik saja.
Ya, semua akan baik-baik saja. Nick percaya itu, apalagi disaat jari-jemarinya telah berhasil menangkap keberadaan saklar lampu. Tanpa berpikir panjang, Nick segera menekan saklar lampu itu.
Detik berikutnya, Nick menyesal sebab ia tidak berpikir panjang terlebih dahulu.
Satu inci di depan wajahnya, wajah makhluk itu, cokelat, mengelupas, lengkap dengan larva-larva putih yang bergerak-gerak, mengisap kuat kulit wajah itu, membentuk lubang tidak sempurna, memaksakan diri untuk masuk ke dalam lubang yang dibuatnya. Beberapa larva lain seketika keluar setiap kali satu larva berhasil masuk. Mereka seolah terlempar, seperti air yang sengaja dipercikkan. Hingga Nick bisa merasakan tubuh basah mereka menggeliat di kedua pipinya.
Nick sontak menjerit dengan sangat keras. Mungkin, ini adalah jeritan paling keras yang pernah ia keluarkan.
Tentu sebagai manusia yang berakal, Nick ingin berlari. Akan tetapi, baru saja ia mundur satu langkah, makhluk itu kembali mendekat. Pergerakannya begitu cepat, hingga Nick tidak bisa memikirkan apa pun lagi selain berteriak. Sosok itu secepat kilat mengulurkan kedua tangan kecilnya, mencengkeram leher Nick, menyumbat saluran pernapasannya. Setelah itu, Nick bisa merasakan bahwa kedua kakinya tidak lagi menapak. Tubuhnya terasa tertarik, dengan seluruh rasa sakit yang terpusat di lehernya.
Jadi begini, rasanya orang gantung diri.
Tidak, aku tidak ingin mati.
Sosok itu terus mengangkatnya ke atas, perlahan, tetapi pergerakannya semakin cepat. Tubuh Nick berjuntai, mulai berputar. Nick segera memegang kedua tangan kecil yang mencengkeram lehernya dengan erat. Remaja itu berusaha melepaskan cengkeraman kedua tangan itu dari lehernya. Namun, semakin Nick berusaha, cengkeraman itu semakin kuat. Putaran sosok itu semakin cepat. Nick memejamkan mata sebagai upaya mengurangi rasa pening luar biasa yang mendera kepalanya. Sensasi lilitan itu semakin kuat menjerat lehernya. Rasa sesak semakin menyentak kuat di dadanya. Ikatan demi ikatan yang membelenggu pikiran Nick semakin terurai perlahan, menciptakan titik hampa, tempat di mana semuanya tiba-tiba terasa damai.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWITCH BUTTON [Selesai]
HorrorJika seseorang ingin tahu rasanya mati, maka tanyakan saja pada Nick. Remaja itu bahkan tidak menyangka bahwa mati tidaklah seburuk yang ia bayangkan. Namun, dalam hitungan detik, ia baru menyadari bahwa kenyataan yang harus dihadapi setelah ia bang...