Bab 21: A Side Quest

8 7 0
                                    

Nick masih ingat, saat-saat ketika dirinya masih berusia 7 tahun. Keluarganya pada saat itu sedang mengalami masalah keuangan. Hampir setiap malam, kedua orang tuanya bertengkar, meributkan keadaan mereka yang semakin memburuk. Nick kecil saat itu berpikir jika saja ada seorang pria yang tiba-tiba datang ke rumah dan memberikan sekoper uang kepada mereka, maka pasti kedua orang tuanya akan berhenti bertengkar. Namun, hal itu tentu saja tidak mungkin terjadi.

Nick juga masih ingat tentang seorang teman kelasnya yang pernah menuduh Nick mencontek saat ujian, padahal temannya sendiri itulah yang sebenarnya mencontek. Hal itu membuat Nick mendapatkan skorsing selama dua pekan dan mendapatkan amarah dari orang tuanya. Bagaimana pun cara Nick menjelaskan, orang tuanya tidak percaya. Nick hanya bisa marah sambil membayangkan temannya itu mendapatkan musibah, seperti terlindas truk misalnya. Namun, hal itu tentu saja tidak mungkin terjadi.

Nick sering memikirkan jika saja ia bisa ini, jika saja orang ini bisa itu, tetapi pada faktanya hal tersebut mustahil terjadi. Sebagai seorang manusia biasa, Nick tentu tidak bisa dengan ajaib mewujudkan hal-hal di dalam pikirannya menjadi nyata.

Akan tetapi, hal sebaliknya justru terjadi pada Kian, membuat Nick tercengang.

Sulit bagi Nick untuk percaya. Namun, lagi-lagi, ia tidak salah dengar ketika Morka mengatakan bahwa hal apa saja yang dipikirkan oleh Kian bisa menjadi kenyataan ketika anak itu menghendakinya untuk menjadi nyata.

Kemampuan macam apa lagi ini?

Mengerikan, tetapi untungnya, Morka juga mengatakan bahwa ia sudah berhasil membantu Kian untuk dapat mengusai dan mengendalikan kemampuannya.

Nick tiba-tiba memikirkan, apa jadinya jika Kian dibawa ke dokter yang salah. Semua orang pasti akan mengira Kian sakit jiwa, padahal tidak. Artinya, Kian tidak akan pernah mendapatkan pertolongan yang semestinya. Artinya, akan ada banyak lagi kerusakan yang disebabkan oleh ketidakmampuan anak itu dalam mengendalikan kemampuan anehnya.

"Usia Kian masih terlalu kecil untuk bisa mengendalikan pikiran dan emosinya. Tidak jarang, ketika anak itu merasa marah, sedih, atau bahagia terhadap suatu hal, maka Kian akan memikirkan sesuatu, lalu emosinya-lah yang akan mengizinkan sesuatu itu untuk terjadi." Morka masih meneruskan ceritanya dan semua orang di ruang tamu itu tetap setia memasang telinga.

"Oh, tidak, aku baru sadar sekarang!" Zinnia berseru tiba-tiba. Laju napas gadis itu terdengar keras, tidak beraturan, seolah ia sedang tercengang dengan suatu hal yang telah lama terjadi, tetapi baru ia sadari.

"Aku baru sadar kalau terdapat peristiwa aneh yang pernah terjadi, setidaknya peristiwa yang bisa kuingat dari memori Nika," lanjut gadis itu.

"Kian pernah kesal saat Ibu tidak memperbolehkannya membeli mobil-mobilan. Lalu, Kian berteriak, mengatakan kalau mobil-mobilan itu pasti akan ia dapatkan. Petugas kasir sendiri yang akan memberikan mainan itu padanya. Dan benar saja, hal itu terjadi. Dulu kami mengira hal-hal semacam itu adalah kebetulan saja, tapi ternyata tidak."

"Bukan hanya itu saja, 'kan, Zinnia?" tanya Morka, menimpali.

Zinnia mengangguk cepat, lalu ia kembali bercerita, "Seorang pria menyebalkan, tetangga sebelah rumah, suka sekali menyetel musik dengan keras. Kami sekeluarga merasa terganggu dan kami sudah coba menegur dengan lembut, tetapi pria itu tetap keras kepala. Tetangga-tetangga yang lain bahkan sampai kewalahan menghadapinya. Hingga suatu pagi, pria itu ditemukan meninggal di teras rumahnya dengan luka tusukan di leher. Ia bunuh diri."

Zinnia terdiam sejenak, menenggak salivanya sendiri, seolah memberi jeda sebelum ia melanjutkan, "Aku baru sadar, malam hari sebelum pria itu meninggal, aku mendengar Kian bergumam kesal, sambil berjalan menuju kamarnya, anak itu berkata aku ingin om-om gemuk itu mati."

SWITCH BUTTON [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang