Bab 9: Dokter Kananta

12 6 0
                                    

Kali ini, seluruh pasang mata tertuju pada Nika.

"Adikmu?" Nick bersuara, meluapkan rasa penasarannya. Ia merasa, segalanya semakin rumit. Masih ada begitu banyak hal yang tidak ia ketahui.

Nick sudah memutuskan untuk menjadi Manu, maka ia pun harus menerima konsekuensi untuk melalui hari-hari sulit ini sebagai Manu. Mau tidak mau, ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk bisa mendapatkan segala informasi.

Kalau boleh jujur, Nick sudah muak, tetapi situasi saat ini membuat Nick hanya bisa mengikuti alur, sambil terus berharap bahwa ia segera bisa mengingat segalanya dan menemukan cara untuk kembali ke tubuh aslinya.

"Ya, Kian, adikku," balas Nika, mengulang jawaban sebelumnya. Gadis itu tersenyum tipis dengan kedua sorot mata sendu.

"Apa yang terjadi dengannya?" tanya Nick, lagi.

"Skizofrenia," ujar Nika. Ia menghela napas dan menundukkan kepala sejenak. Pembicaraan kali ini tampaknya membuat Nika harus kembali mengenang masa-masa itu. Masa-masa yang mungkin terasa amat sulit bagi Nika dan keluarganya.

"Dokter Kananta mendiagnosis bahwa Kian mengalami skizofrenia." Nika melanjutkan penjelasannya. Ia terdiam beberapa saat, memberi jeda, sebelum kembali meneruskan, "Kian sempat melakukan rawat jalan, tetapi kondisinya memburuk. Ia terus menunjukkan perilaku-perilaku yang membuat Dokter Kananta akhirnya menyarankan agar Kian dirawat secara intensif di rumah sakit. Dokter Kananta sendiri yang akan menanganinya. Orang tuaku pun setuju. Dan, ya, akhirnya Kian dirawat selama kurang lebih satu bulan."

"Lalu, apakah Kian sudah sembuh sekarang?"

"Ya, dia sudah jauh lebih baik! Dia di rumah sekarang." Suara Nika terdengar begitu bersemangat kali ini. "Kian mulai menunjukkan keanehan sejak usianya 1 tahun. Sejak itu pula orang tua kami membawanya ke sana-sini untuk pengobatan. Selama itu pula, tidak ada satu pun dokter yang cocok, hingga akhirnya kami bertemu dengan Dokter Kananta dan Kian pun bisa sembuh."

"Aku ikut senang atas kondisi adikmu saat ini," balas Nick.

Nika tersenyum. Kemudian, gadis itu menoleh pada Janu yang hanya diam menyimak di sampingnya, lalu ia berkata, "Jadi, bagaimana kalau kita membawa Kak Janu untuk melakukan pengobatan dengan Dokter Kananta?"

"Aku setuju," sahut Nick cepat. "Kak Janu sebaiknya dirawat di sana."

"Tapi, siapa yang akan menjagamu?" Akhirnya Janu bersuara, setelah sedari tadi ia hanya terdiam. "Aku tidak ingin kau sendirian, Manu."

"Aku bisa menjaga diriku." Nick membuat alasan. Demi apa pun, ia harus bisa meyakinkan Janu atau dirinya tidak akan bisa merasa tenang. Nick bergidik ketika tiba-tiba kejadian malam tadi kembali terbayang sekilas.

"Ya, Kak Janu. Kau jangan khawatir," sahut Nika, seakan membantu Nick untuk meyakinkan Janu. "Manu bisa menghubungiku atau keluargaku kapan saja ia membutuhkan sesuatu."

Janu mendengus lelah. Melihatnya, membuat Nick menyimpulkan bahwa sebenarnya pemuda itu ingin pergi berobat, tetapi ia tidak bisa meninggalkan adiknya.

Ah, Janu memang seorang kakak yang baik.

Sayangnya, kondisi pemuda itu justru membahayakan adik tercintanya.

"Baiklah," ujar Janu usai ia terdiam cukup lama.

Nika tersenyum, mendengar Janu yang akhirnya setuju untuk dibawa berobat dengan Dokter Kananta. Begitu pula dengan Nick. Ia juga tersenyum, tetapi bukan karena mendengar persetujuan Janu.

Melainkan sebab melihat senyum gadis itu.

Nick lantas mengalihkan pandangannya. Ia segera berdiri, diikuti oleh Janu dan Nika. Setelahnya, Nick, bersama Nika, keluar dari kamar Janu, membiarkan pemuda itu untuk bersiap. Nick pun menuju kamarnya, kamar milik Manu, sedangkan Nika menunggu di ruang tamu.

SWITCH BUTTON [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang