Nick sama sekali tidak bercanda ketika ia memilih untuk menyerah saja. Kehidupan benar-benar telah membuatnya lelah. Bagian terlucunya adalah, kehidupan ini bahkan bukan miliknya. Mungkin, jalan keluar itu memang tidak ada. Mungkin, Nick memang ditakdirkan untuk menjalani sisa hidupnya sebagai orang lain.
Akan tetapi, Nick mengurungkan niatnya untuk menyerah setelah ia mendapati Morka kembali duduk usai pria itu menghabiskan waktu satu jam lamanya untuk berbicara empat mata dengan sang istri. Entah apa yang wanita itu katakan kepada suaminya, sehingga Morka tiba-tiba saja setuju untuk membantu anak-anak remaja yang jauh-jauh mendatanginya dari pusat kota.
Entah Nick harus bersyukur atau bagaimana, tetapi remaja itu cukup takut untuk percaya. Setiap hal selalu saja mengangkatnya tinggi-tinggi, menimang-nimang jiwanya dalam harapan yang begitu cerah, lalu melempar jiwanya dengan kuat, menghancurkan seluruh harapannya.
Nick tidak mau lagi berharap, tetapi tentu ia tidak akan melewatkan setiap kesempatan di mana ia bisa mengambil harapan. Nick mungkin telah pasrah. Ia sangat ingin menyerah. Namun, Nick masih belum bisa membayangkan jika dirinya benar-benar tidak bisa kembali. Nick tidak akan bisa mengira bagaimana jadinya, bagaimana hidupnya, bagaimana semuanya harus ia lalui sendirian, sebagai orang asing.
Pikiran Nick membuat remaja itu sontak mendesis seraya mengacak rambut. Nick seketika kembali menegapkan tubuhnya usai ia mendapat usapan lembut dari Zinnia di bahunya. Nick mendapati Morka dengan sang istri di sebelahnya, Elan, dan juga Orchid yang kini turut duduk bersama mereka, semua menatap ke arahnya. Mereka agaknya tahu betapa kacaunya Nick saat ini. Namun, hati remaja itu sedikit menghangat ketika ia mengarahkan sepasang penglihatannya ke arah Zinnia.
Zinnia, dalam fisik Nika, Nick tidak tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini. Namun, Nick tahu, Zinnia pasti juga merasa lelah. Kendati demikian, gadis itu tampaknya belum kehilangan harapan, meski kehidupan terus mempermainkannya. Nick tersenyum tipis, menyadari betapa hebatnya gadis itu bertahan. Zinnia sudah lebih dulu mengalami hal ini. Artinya, Zinnia sudah lebih lama menunggu, lebih lama dalam menjalani kehidupan yang bukan miliknya, lebih lama dalam menahan semua beban yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapa pun.
Dan hari ini adalah waktunya. Waktu yang mungkin akhirnya menjawab penantian Zinnia, juga Nick. Seharusnya, Nick bisa lebih bersabar, seharusnya, seharusnya.
Seharusnya, seharusnya tidak seperti ini.
"Sepertinya, aku memang tidak akan bisa terlepas dari lingkaran ini." Morka tiba-tiba bersuara, memecah keheningan.
Tidak benar-benar hening sebenarnya. Suara hewan malam sudah mulai terdengar, menandakan gelap sudah memenuhi langit bagian bumi ini di luar sana.
"Aku selalu mengatakan, ini yang terakhir, ini yang terakhir, tapi nyatanya hal itu tidak akan pernah berakhir," ucap Morka melanjutkan. "Terkadang, aku ingin egois, tapi nyatanya aku tidak pernah bisa egois."
Morka menghela napas. Pria itu lantas menengadahkan kepalanya, memandang lamat atap rumahnya. Nick menerka-nerka, apa hal yang tengah melintas di pikiran pria itu. Mungkin, Morka sedang memikirkan pekerjaannya sebagai dokter. Mungkin, Morka memikirkan keluarganya, dirinya, masa lalunya, atau apa pun.
Entahlah.
"Lagi-lagi, Aruna selalu mengingatkanku. Aruna benar, mungkin memang inilah alasanku diciptakan." Morka kembali berucap sambil melihat ke arah istrinya. Wanita yang dipanggil Aruna itu turut menatap suaminya dengan sorot berkaca.
Lagi, Nick mulai mengira-ngira. Sepertinya, ada banyak hal sulit yang telah dilalui oleh pasangan itu. Bukan sekadar hal sulit biasa, tetapi hal sulit yang benar-benar sulit, rumit, berkelit, dan tidak mampu diterima oleh nalar manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWITCH BUTTON [Selesai]
Kinh dịJika seseorang ingin tahu rasanya mati, maka tanyakan saja pada Nick. Remaja itu bahkan tidak menyangka bahwa mati tidaklah seburuk yang ia bayangkan. Namun, dalam hitungan detik, ia baru menyadari bahwa kenyataan yang harus dihadapi setelah ia bang...