Bagian - 3

679 148 10
                                    

Winda : S 3494 NI kenapa bisa ada di depan kliniknya Mbak Gemma? Hayo, lagi ngapain Mas di situ? Aku laporin ke istrimu loh.

Magani masih sibuk dengan kliennya saat ponselnya berbunyi, dan pesan dari adiknya muncul. Sontak ia meliarkan tatap ke sekitar. Magani tidak tahu jika klinik yang ia kunjungi ini adalah milik Gemma. Ia murni datang memenuhi kerjasamanya dengan seorang klien yang memintanya membuatkan sebuah taman.

"Mas Gani! Eh, saya panggil Mas aja, ya. Tadinya saya pikir Mas Gani ini sudah bapak-bapak paruh baya gitu loh. Ternyata masih muda banget. Kok nggak pantes kalau dipanggil Bapak. Hehehehe."

"Iya, Mbak. Terserah Mbak mau panggil apa. Gani saja juga boleh."

"Bos saya nggak bisa datang, Mas. Ada acara mendadak yang nggak bisa ditinggal. Jadi terpaksa deh kita hanya berdua saja. Nggak apa-apa, ya?"

"Siapa nama bosnya kalau boleh tahu, Mbak?" Tanya Magani, berharap bisa mematahkan tuduhan Arwinda padanya.

"Namanya Dokter Gemma."

Ternyata, hanya dengan mendengar namanya saja sudah cukup membuat Magani menahan napas.

"Sebenarnya saya juga takut keliru gitu, Mas. Takutnya nanti nggak sesuai. Tapi ya gimana lagi, Bos saya ini kalau sudah berkehendak, sebagai pekerjanya saya hanya bisa nurut." Perempuan itu meletakkan dua botol mineral di meja. "Mas Gani mau dibikinin kopi? Bisa-bisanya nggak saya tanyain dulu mau minum apa. Di sini ada kok kopi atau teh."

"Saya air mineral ini saja, Mbak." Jawab Gani. Lekas menyalakan iPad dan menggerakkan apple pencilnya di aplikasi desain. Tadi si klien sudah memberikan penjelasan tentang taman yang diinginkan. Magani juga sudah survei lokasi. Tinggal ia merealisasikan dalam bentuk gambar.

"Wih, langsung digambarin, Mas?" Tanya si klien.

"Saya bikinin tiga gambar, biar Mbak bisa pilih yang paling srek." Ujarnya.

"Oke, Mas, nanti saya kirim ke Bos saya dulu. Biar dia yang mutusin."

Magani sedikit bersyukur, sosok yang disebut sebagai Bos oleh kliennya berhalangan hadir. Harus menghadapi perempuan yang pernah dicintai dengan sangat, itu tidak mudah. Kendali dirinya belum sebagus itu. Baiklah, Magani memang lemah. Hubungannya dengan Gemma sudah lama berakhir, keduanya juga sudah memiliki jalan hidup masing-masing bersama dengan pasangannya. Lalu kenapa ia harus merasa risau?

Bodoh.

"Gambarnya sudah kelar, Mas? Wah, cepat banget." Kliennya mengambil alih ipad milik Magani. "Bagus-bagus semuaaaa! Saya bingung mau pilih. Saya fotonya ya, Mas. Saya kirim ke Bos."

"Iya, Mbak, silakan!"

"Bos aku mungkin masih sibuk, Mas. Nggak dibalas-balas nih."

"Nggak apa-apa, Mbak." Magani bersiap untuk pergi. "Mungkin sampai di sini saja dulu. Mbak bisa kabari saya setelah sudah nentuin pilihan. Tukang saya bisa mulai kerja bulan depan. Soalnya sekarang masih full, Mbak."

"Siap, Mas." Si klien menjabat tangannya. "Makasih ya, Mas, atas waktu dan kunjungannya. Secepatnya saya akan hubungi Mas."

"Sama-sama, Mbak. Saya pamit dulu."

Di perjalanan pulang, otak Magani kembali melanglang buana. Magani pasti sudah tidak waras membiarkan masa lalu berlama-lama mendominasi hatinya. Ini jelas-jelas salah.

"Panjang umur!" Celetuk Arwinda begitu Magani sampai di rumah ibunya. "Kenapa chatku nggak dibalas, Mas? Ngapain Mas Gani di kliniknya Mbak Gemma?"

Magani mengabaikan ocehan adiknya. Terus melangkah menuju dapur, membuka lemari es, dan mengeluarkan botol mineral. Lalu diteguknya hingga separuh. Arwinda mengekori, bersidekap tangan, dengan mata menyipit selidik.

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang